Dark/Light Mode

Tolak Amandemen UUD 1945

Tiga Partai Politik Raksasa Semoga Tak Asal Bersuara

Rabu, 7 April 2021 06:40 WIB
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Ahmad Basarah. (Foto: Humas MPR RI)
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Ahmad Basarah. (Foto: Humas MPR RI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sepakat menolak wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meski demikian, partai-partai ini tidak menjamin bisa menjegal upaya amandemen itu.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Ahmad Basarah menegaskan, partainya menolak UUD 1945 diamandemen, sesuai arahan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Partai berlogo Kepala Banteng itu secara khusus menyoroti Pasal 7 UUD 1945, dan mengusulkan tidak diubah.

Secara lengkap, pasal itu berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Baca juga : Kompak, Fraksi Demokrat DPRD DKI Jakarta Tetap Setia Bersama AHY

“PDIP menolak perubahan masa jabatan presiden,” ujar Basarah, di webinar bertajuk “Polemik Amandemen UUD 1945: Mengukuhkan Demokrasi atau Oligarki?”, yang digelar Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), kemarin.

Wakil Ketua MPR itu menegaskan, hingga saat ini PDIP menilai, amandemen UUD 1945 belum diperlukan. Apalagi, muncul kesan hanya untuk memuluskan kepentingan pribadi dengan mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Hal senada disampaikan Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily. Menurutnya, wacana amandemen ini belum menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Apalagi, jika dikaitkan dengan isu masa jabatan presiden. “Seharusnya kita fokus pada penanganan Covid-19, dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Itu prioritas,” ujarnya.

Baca juga : PKS Pastikan Tak Ada Amandemen UUD 1945 Soal Jabatan Presiden

Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu menjelaskan, ada tiga isu besar terkait Amandemen UUD 1945. Yaitu, haluan negara, periodisasi jabatan presiden, dan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, semua belum dianggap perlu diamandemen.

Hal senada juga disampaikan Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera. Dia menyarankan, diskusi soal kebijakan ini terus digaungkan, agar masyarakat semakin peka terhadap situasi politik kebangsaan.

Namun peneliti senior CSIPP, Muhammad Saihu berpendapat, amandemen UUD 1945 untuk yang kelima kalinya masih mungkin terjadi. Menurutnya, amandemen kali ini terganjal isu jabatan presiden tiga periode. “Di sinilah pelik dan rumitnya, tapi tidak mustahil. Politik Indonesia itu unpredictable dan serba berkemungkinan,” kelakarnya.

Baca juga : Kadin: Peta Okupasi Logistik Bisa Cetak SDM Berkualitas

Pendapat Saihu beralasan. Soalnya, pada wacana Pilkada dan Pilpres 2024 serentak, semula mendapat penolakan keras, termasuk dari parpol koalisi pemerintah. Belakangan, peta politik berubah. Penolakan itu malah menjadi kesepakatan.

Dijelaskannya, amandemen konstitusi bukanlah hal yang tabu dalam sistem demokrasi. Ini, menjadi aturan main atas dinamika politik di daerah, nasional, hingga internasional. Gagasan ini, baiknya direspons secara matang oleh pelaku politik. “UUD 1945 tentu bukan harga mati. Tapi jika diperlukan perubahan atau amendemen, tentu tidak bisa dilakukan gegabah dan serampangan,” tukasnya. [BSH]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.