Dark/Light Mode

Nyatakan Diri Presiden, Apakah Prabowo Tak Langgar UU?

Sabtu, 20 April 2019 05:43 WIB
Acara Syukur Kemenengan Indonesia, di Kediaman Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta, Jumat (19/4). (Foto: Tedy O Kroen/Rakyat Merdeka)
Acara Syukur Kemenengan Indonesia, di Kediaman Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta, Jumat (19/4). (Foto: Tedy O Kroen/Rakyat Merdeka)

 Sebelumnya 
Apakah klaim Prabowo melanggar UU? Anggota Bawaslu M Afifuddin menyatakan, soal ini tidak secara langsung diatur dalam peraturan perundang-undangan. "Setahu saya tidak ada," ujarnya.

Namun, Afifudin mengatakan, dalam menghadapi kompetisi, tiap pihak mesti berkepala dingin. Menghindari sikap membuat pernyataan provokatif serta berlebihan.

KPU juga meminta para capres-cawapres tak lagi mengklaim kemenangan Pilpres 2019. KPU meminta semua pihak menunggu penghitungan resmi. "Silakan menunggu proses penghitungan yang dilakukan oleh KPU," ujar komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, klaim menang pemilu merupakan dinamika yang seharusnya dianggap biasa. Karena, belum ada penghitungan resmi dari KPU. Yang ada, baru hasil quick count yang memenangkan Jokowi-Maruf, dan  hasil real count versi 02 yang memenangkan Prabowo-Sandi. "Jadi, wajar-wajar saja perbedaan itu," kata Refly.

Baca juga : Prabowo Tuding Ada Kecurangan

Yang penting, lanjut dia, kedua kubu jangan melakukan, selebrasi yang berlebihan terlebih dahulu. Jangan juga melakukan tindakan-tindakan yang anarkis. "Karena bagaimanapun, hasil resmi harus kita tunggu dari KPU," tegas Refly.

Terkait hal ini, Mahfud MD meminta masing-masing pihak menahan diri. Jangan mengklaim menang, sebelum ada keputusan resmi dari KPU. Mahfud mengatakan, hitung cepat versi internal tidak mengikat dan belum resmi.

"Siapa pun yang menang nanti harus menang secara gagah. Menang secara gagah itu artinya melalui perhitungan terbuka, sesuai dengan undang-undang. Bukan melalui quick count dan melalui hitung sendiri. Hitungan internal itu tidak mengikat. Quick count juga tidak mengikat. Itu sebagai pedoman untuk diadu nanti dalam penghitungan sesungguhnya," tuturnya.

Pengamat Politik AS Hikam menyerahkan kepada masing-masing ahli dari berbagai perspektif, untuk menilai apakah yang dilakukan Prabowo melanggar UU atau tidak. Yang pasti, Hikam menilai, apa yang dilakukan Prabowo adalah manuver politik. Dilakukan secara sengaja. Dipikirkan dan direncanakan dengan berbagai pertimbangan yang sudah valid dan efektif untuk meyakinkan, merekalah pemenang Pilpres 2019.

Baca juga : Toyota Ngarep Presiden Terpilih Pro Industri Otomotif

Menurut Hikam, deklarasi itu merupakan rangkaian dari beberapa hal. Seperti rencana gelar people power, sujud syukur massal di Masjid Istiqlal, dan tudingan adanya berbagai kecurangan dalam survei serta quick count yang dilakukan berbagai lembaga survei.

"Ini merupakan sebuah faith accomply politik dan pengkondisian untuk manuver-manuver lanjutan, sebelum dan pasca-pengumuman resmi KPU nanti," papar Hikam dalam rilis yang diterima Rakyat Merdeka, Jumat (19/4).

Peneliti LIPI Wahyudi Akmaliah menuturkan, klaim Prabowo itu perlu dilihat sebagai persoalan serius. Kondisi itu secara tidak langsung, bisa merusak wajah demokrasi Indonesia. Dengan membangun sikap delusional, perayaan kemenangan itu dianggap sebagai kebenaran.

Ironisnya, di tengah fenomena post-truth di media sosial, pendukung Prabowo sangat mempercayai kabar kemenangan itu. "Akibatnya, ketika nanti KPU mengumumkan hasil (Pemilu 2019) dan tidak sesuai dengan keinginannya (pendukung Prabowo), justru membangun mosi tidak percaya kepada KPU sebagai elemen demokrasi yang penting," terang Wahyudi, Jumat (19/4).

Baca juga : Jelang Hari Pencoblosan, Prabowo Hadiri Wisuda UKRI

Dia berpendapat, isu pemilu curang memang sudah mengalami proses prakondisi sebelumnya. Pernyataan Amien Rais terkait dengan people power misalnya.

"Kini, yang bisa dilakukan adalah mengampanyekan untuk percaya kepada kinerja dan hasil KPU. Jika tetap tidak percaya, berarti ini penciptaan prakondisi untuk melakukan makar," imbuhnya.

PDIP juga mempersoalkan inkonsistensi Prabowo yang mengakui quick count pada Pilkada DKI, tapi tidak dengan Pilpres kali ini.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai, hitung cepat yang dilakukan lembaga survei di kedua Pemilu tersebut sama-sama menggunakan metode ilmiah. Menurut Hasto, inkonsistensi juga ditunjukkan partai politik koalisi Prabowo-Sandiaga yang mengakui hasil hitung cepat lembaga survei untuk pemilihan legislatif (Pileg) 2019, namun tidak untuk Pilpres. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.