Dark/Light Mode

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin

Buat Apa Jaksa Pintar, Tapi Tak Bermoral

Kamis, 4 Februari 2021 06:23 WIB
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (Foto: Rizky Syahputra/RM)
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (Foto: Rizky Syahputra/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Tak semua kasus atau perkara, mesti diselesaikan lewat jalur pengadilan. Terutama, untuk perkara pelanggaran kecil. Terkait hal itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menginstruksikan seluruh aparatnya untuk menerapkan konsep restorative justice.

Konsep ini merupakan alternatif penyelesaian perkara melalui proses dialog, dengan melibatkan semua pihak-pihak terkait - termasuk korban dan pelaku - untuk menyelesaikan perkara dengan adil dan seimbang.

Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) yang akrab Pak Bur ini menceritakan, saat ini sudah ada ratusan perkara diselesaikan melalui konsep restorative justice.

Baca juga : Demokrat Mau Fokus Ngedongkrak Elektoral

Seperti apa pelaksanaan konsep restorative justice di lapangan, dan bagaimana konsep tersebut dapat membantu menyelesaikan suatu perkara hukum? Mari kita simak petikan wawancara eksklusif wartawan Rakyat Merdeka, Jhon Roy Pangibulan Siregar dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

Apa yang mendorong Bapak menggencarkan penanganan perkara melalui konsep restorative justice. Seperti apa latar belakangnya?

Begini. Dalam sejarahnya, penegakan hukum di Indonesia, kerap diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang sering kali mencederai rasa keadilan masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang pelakunya adalah masyarakat kecil. Perbuatan pidananya dinilai tidak pas atau adil, untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Baca juga : Jaksa Agung Dicecar Soal Tuntutan Ringan Perkara Suap Jaksa Pinangki

Salah satu kasus yang sempat menarik perhatian masyarakat adalah kasus Nenek Minah, yang kala itu berusia 55 tahun. Dia didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao di perkebunan Rumpun Sari Antan, Semarang, Jawa Tengah.

Nenek Minah divonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama tiga bulan. Fakta ini mengusik rasa keadilan banyak pihak. Hanya gara-gara mencuri tiga buah kakao, nenek tua itu menjalani proses hukum yang panjang.

Begitu juga Kakek Samirin, yang ketika itu berusia 68 tahun. Dia divonis bersalah 2 bulan, karena mencuri getah karet senilai Rp 17 ribu di perkebunan PT Bridgestone yang berada di wilayah abupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Baca juga : Tunggu Regulasi Pemerintah, KAI Siap Tempatkan GeNose C19 Di Berbagai Stasiun

Kasus seperti itu, mestinya dapat diselesaikan melalui musyawarah. Pelaku dan korban berdamai, sehingga rasa keadilan di masyarakat dapat terpenuhi.  
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.