Dark/Light Mode

Bahaya "Budaya Kawan Dan Lawan"

Selasa, 29 November 2022 06:44 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

 Sebelumnya 
Pola ini sangat dikenal ketika berlangsung perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Saat itu, seolah-olah, hanya ada dua pilihan; kapitalisme atau komunisme. “Kalau anda mendukung kapitalis, berarti anda komunis, atau sebaliknya”.

Beberapa negara yang menyadari bahwa dikotomi tersebut sebagai “dilema palsu” kemudian membentuk Gerakan Non Blok yang antara lain disponsori Indonesia.

Baca juga : Sampai Kapan Harus Impor?

Sayangnya, polarisasi justru kembali mencuat dalam politik Indonesia saat ini. Dikotomi “kawan atau lawan” merasuki masyarakat.

Ini sungguh tidak sehat. Karena seolah memutlakkan bahwa “kalian salah, kami benar”. Akibatnya, lahirlah sikap yang lebih brutal, “dipukul duluan atau memukul duluan”. Setiap saat, situasinya selalu dalam posisi dan aura perang.

Baca juga : Sejuk Di Suhu Panas

Siapa yang untung? Mereka yang menginginkan situasi teradu domba ini terus terpelihara sehingga bisa “bermain sepuasnya” di air keruh polarisasi.

Karena itu, para pemimpin perlu menciptakan situasi dan kondisi damai. Kalau tidak, bangsa ini akan terus melangkah jauh ke jurang perpecahan yang lebih dalam lagi. Bangsa ini akan menjadi proxy bangsa lain. Taruhannya sangat besar dan mahal. Apalagi kalau sudah mengkristal, menjadi budaya, mendarahdaging, lalu menurun ke generasi selanjutnya. 

Baca juga : Jangan Hilang Momentum

Budaya “kawan dan lawan” atau prinsip “Anda bersama kami atau melawan kami”, harus segera dihentikan. Itu dilema palsu. Dikotomi palsu. Berbahaya. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.