Dark/Light Mode
- Turun Rp 11.000, Harga Emas Dibanderol Rp 1.343.000 Per Gram
- Akhir Pekan, Rupiah Melemah Ke Rp 15.985 Per Dolar AS
- Indra Karya Jempolin Manfaat Bendungan Multifungsi Ameroro Di Sulteng
- Pertamina EP Pertahankan Kinerja Positif Keuangan Tahun Buku 2023
- PGN Saka Kantongi Perpanjangan Kontrak WK Ketapang Bersama Petronas
RM.id Rakyat Merdeka - Masih tujuh bulan lagi, namun pembicaraan mengenai posisi Jokowi pasca lengser sudah menjadi isu menarik.
Kemana Jokowi setelah tidak lagi menjadi Presiden, Oktober 2024 menda tang? “Saya akan kembali ke kota saya, Solo, sebagai rakyat biasa,” ungkap Jokowi ketika diwawancarai The Economist.
Wawancara itu dilakukan November 2022. Nama Gibran, putra Presiden, belum beredar sebagai cawapres. Yang menguat saat itu adalah Ganjar-Prabowo atau Prabowo-Ganjar.
Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Pasangan Prabowo-Gibran (sudah) memenangi Pilpres. Mengusung semangat “keberlanjutan” program-program Jokowi, Prabowo tentu perlu bekerjasama dan dekat dengan Jokowi.
Selain itu, Jokowi juga dikaitkan dengan posisi Ketua Umum Partai Golkar. Bukan hanya Jokowi, Gibran pun sudah dikaitkaitkan dengan posisi orang nomor satu di Golkar.
Baca juga : Politik Di Bulan Puasa
Namun, ada yang menilai, Jokowi layak berada di atas semua partai. Bukan hanya menjadi Ketua Partai Golkar. Usulan ini datang dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Jokowi Ketua Koalisi, Kuncinya Di Prabowo,” demikian judul headline halaman depan Rakyat Merdeka, Rabu (13/3).Pendapat ini disampaikan partai-partai koalisi Prabowo-Gibran.
Bagi Prabowo, mencari posisi yang layak dan pantas buat Jokowi tidak kalah sulitnya dengan menimbang dan menghitung berapa jatah menteri untuk partai-partai koalisinya.
Lalu di mana posisi Jokowi? Apakah akan meniti jalan seperti Lee Kuan Yew di Singapura, atau menggunakan model “Barisan Nasional” di Malaysia? Ataukah akan mengikuti sistem di beberapa negara yang memiliki seorang ketua partai koalisi yang sangat kuat serta memiliki posisi super penting?
Sebenarnya, Indonesia punya pengalaman soal ini. Pada 2010, pemerintah membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) partai-partai koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono.
Baca juga : Pilot Ketiduran Dan Swifties
Saat itu terjadi pro-kontra. Yang setuju menilainya sebagai tindakan logis untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan.
Selain itu, kalau ada persoalan, bisa dibicarakan terlebih dulu di dalam internal Sekber Koalisi. Termasuk kerja sama di DPR. Ini membuat pemerintah bekerja efektif dan kuat.
Yang kontra menilai, pembentukan Sekber akan menjadi kartel atau oligarki politik yang berdampak terhadap lemahnya kontrol terhadap pemerintah. Akibatnya, pemerintah bisa dengan leluasa melakukan apa saja.
Tidak adanya platform politik yang sama, menjadi salah satu isu menarik, saat itu. Masing-masing partai mengusung kepentingan sendiri.
Lagi pula, tidak ada partai yang bisa mengikat janji “sehidup semati”. Semua tergantung momen dan kepentingan.
Baca juga : Dari Perut Bisa Ke Mana-mana
Ada satu contoh yang sempat heboh, saat itu. Bahkan, Sekber Koalisi yang baru seumur jagung sudah riuh karena Golkar mengancam akan keluar dari koalisi dan menarik menterinya dari kabinet.
Golkar marah karena usulan pemberian dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar untuk setiap anggota DPR ditolak anggota Sekber lainnya.
Itu baru satu contoh kecil dari dinamika kepentingan di internal koalisi. Bagaimana dengan sekarang? Ini akan menjadi ujian dan tantangan pertama bagi Prabowo-Gibran.
Bagaimana menghindari dan mencegah munculnya “matahari kembar” antara Istana di Merdeka Utara dan Istana di Merdeka Selatan, juga menjadi isu menarik.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.