Dark/Light Mode

Cita Pelangi, Bagus Nugroho, Dewi Hanggraeni

Relaksasi Restrukturisasi Kredit Di Masa Covid-19, Sudahkah Efektif?

Rabu, 25 Oktober 2023 18:26 WIB
Ilustrasi restrukturisasi kredit (Foto: Istimewa)
Ilustrasi restrukturisasi kredit (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Covid-19 yang mulai masuk ke Indonesia pada Februari 2020, berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekonomi Indonesia turun drastis pada tahun 2020, dengan pertumbuhan ekonomi di Triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen (yoy). Melambat dibanding Triwulan IV-2019 yang mencapai 4,96 persen (yoy).

Sebagai respons terhadap situasi ini, pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus ekonomi nasional. Salah satunya, melalui kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit khusus bagi debitur terdampak Covid-19 yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/POJK/03/2020 dan berlaku sejak Maret 2020.

Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan kepada debitur, yang berpotensi mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya.

Kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 memberikan kelonggaran kepada perbankan, dalam melakukan restrukturisasi berupa penyederhanaan faktor penilaian kualitas kredit yang seharusnya berdasarkan pada 3 pilar (ketepatan dalam membayar, prospek usaha, dan kondisi keuangan), menjadi cukup hanya pada 1 pilar (ketepatan dalam membayar). Selain itu, kredit yang direstrukturisasi dapat dikeluarkan dari perhitungan aset berkualitas rendah.

Baca juga : Akhir Bulan Ini, Jokowi Umumkan Transisi Pandemi Covid-19 Ke Endemi

Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap, bank sebagai lembaga intermediasi dapat mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat Covid-19.

Kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19, yang awalnya hanya akan berlaku sampai dengan 31 Maret 2021, telah mengalami 2 kali perpanjangan, POJK No. 48/POJK.03/2020 memperpanjang kebijakan ini hingga 31 Maret 2022. Dan POJK No. 17/POJK.03/2021, memperpanjang kebijakan ini hingga 31 Maret 2023.

November 2022, OJK melalui siaran persnya, mengumumkan kebijakan tambahan. Beberapa segmen tertentu (targeted) masih mendapatkan kebijakan relaksasi restrukturisasi hingga Maret 2024. Segmen ini mencakup sektor UMKM, penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar.

Efek Relaksasi Restrukturisasi Kredit

Sebelum pandemi Covid, pada 2019, kredit bank umum tumbuh 6,08 persen (yoy). Risiko kredit relatif terjaga dengan rasio Non Performing Loan (NPL) 2,53 persen dan rasio Loan at Risk (LaR) 7,89 persen. Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang tercatat dengan angka 93,64 persen, relatif baik karena pertumbuhan kredit diiringi dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Baca juga : Restrukturisasi Kredit Bantu Pebisnis Survive

Memasuki Triwulan I-2020, di masa awal pandemi Covid-19, kredit masih dapat bertumbuh sebesar 1,69 persen (qtq). Namun, pertumbuhan ini diiringi dengan kenaikan risiko kredit, seiring dengan masuknya Covid-19 di Indonesia. Hal ini tercermin dari naiknya rasio NPL dan LaR dari triwulan IV-2019, masing-masing sebesar 2,77 persen dan 8,92 persen.

Lambatnya aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19, memicu kenaikan kredit bermasalah, karena turunnya kemampuan bayar debitur. Dari sisi likuiditas, Liquidity Coverage Ratio (LCR) tercatat 212,05 persen. Atau meningkat dibanding Triwulan IV-2019 yang hanya 209,16 persen.

Hal ini, antara lain didukung oleh penerapan PSAK 71, yang mengharuskan perbankan untuk meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Triwulan II-2020, untuk mendukung masyarakat dan juga perbankan, pemerintah mulai menerapkan kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19. Hanya saja, penerapan kebijakan ini belum menunjukkan hasil yang baik bagi profil risiko kredit perbankan. Ini tercermin dari rasio NPL dan rasio LaR, yang tetap melonjak ke angka 3,11 persen dan 17,54 persen.

Baca juga : Bamsoet Dorong Pemerintah Beri Relaksasi Pengurusan Sertifikasi Badan Usaha

Terlihat bahwa pandemi Covid-19 sangat memukul kegiatan usaha dan perekonomian Indonesia, sehingga memicu penurunan kemampuan bayar debitur.

Lemahnya permintaan di sisi konsumsi maupun produksi, juga membuat permintaan terhadap kredit perbankan menurun, hingga -2,85 persen (qtq).
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.