Dark/Light Mode

Dijamin OJK

Pembentukan Bank Penyangga Tak Akan Bikin Buntung, Justru Untung

Jumat, 15 Mei 2020 20:44 WIB
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Foto: Twitter @11MaretUniv
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Foto: Twitter @11MaretUniv

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjamin, rencana penunjukkan bank-bank Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) sebagai bank penyangga likuiditas tak akan mengganggu likuiditas bank-bank yang ditunjuk sebagai peserta. Justru sebaliknya, bakal memberikan margin alias untung bagi bank.

“Bagaimana pemerintah menyediakan penyangga likuiditas di sektor keuangan di kondisi sulit seperti sekarang. Karena kalau tidak ada alternatif, bank-bank yang melakukan restrukturisasi, pasti likuiditasnya terganggu. Karena debitor sudah tidak bisa lagi mengangsur pinjaman pokok maupun bunga kreditnya,” terang Wimboh dalam media gathering secara virtual di Jakarta, Jumat (15/5).

Ia menjelaskan, dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020, salah satu upaya dalam mengambil langkah ekonomi agar tetap bisa jalan di tengah Covid-19 adalah dengan membentuk bank penyangga likuiditas. Aturan ini merujuk pada Perpu No 1/2020, di mana otoritas memberikan ruang bagi sektor riil dan keuangan untuk tetap berfungsi.

Lewat PP tersebut, ketentuan bank-bank dikelompokkan menjadi bank peserta dan bank pelaksana. Bank peserta memiliki kriteria ini adalah bank-bank yang memiliki kategori sehat dan masuk dalam tipe 15 bank dengan aset terbesar, di mana termasuk di dalamnya empat bank terbesar BUMN yaitu BRI, Mandiri, BNI dan BTN.

Baca juga : Kementan Dorong Pengembangan Sumber Daya Ternak Lokal Sapi Pasundan

Sementara bank pelaksana yaitu bank yang memiliki Surat Berharga Negara (SBN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sukuk dan produk pasar keuangan lainnya yang belum direpokan tak lebih dari 60 persen, dan bank yang telah memberikan restrukturisasi debitor di tengah pandemi Covid-19.

Dalam mekanismenya, Wimboh menjelaskan, jika bank pelaksana tak lagi memiliki likuiditas yang memadai dalam proses restrukturisasi alias kehabisan dana, bisa mengajukan permohonan ke bank peserta. Nanti bank peserta akan mengajukan pendanaan ke pemerintah, di mana pemerintah akan menempatkan dananya ke bank peserta baik dalam bentuk deposito atau pun lainnya, kemudian bank peserta bisa memberikan pendanaan itu kembali ke bank pelaksana.

“Berapa jumlah dananya? Itu tergantung kebutuhannya tiap bank berapa tidak selalu sama. Karena jumlah restrukturisasi yang diberikan pun berbeda-beda tiap bank. Agar tak menimbulkan moral hazard, bank pelaksana memberikan underlying berupa kredit debitor kategori lancar yang bisa diagunkan. Bank pelaksana juga akan bertanggung jawab terhadap data-data yang diberikan,” rincinya.

Terkait berapa kebutuhan penempatan dana yang akan diberikan pemerintah ke bank peserta, Wimboh bilang, pihaknya bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) masih menghitung berapa jumlah kebutuhan tersebut.

Baca juga : Kader PAN Sudah Teruji Tak Akan Pindah Perahu

Namun yang pasti lanjut dia, angka tersebut bakal mengacu pada data restrukturisasi yang ada. Hingga 12 Mei 2020, realisasi outstanding nya mencapai Rp 336,97 triliun dari 88 bank yang sudah melakukan restrukturisasi kepada 3,88 juta debitor. 

Restrukturisasi terbesar diberikan kepada nasabah UMKM yang mencapai 3,42 juta debitur dengan nilai Rp 167,1 triliun. Sementara di lembaga pembiayaan mencapai jumlah kontrak 1.484.768 dengan nilai Rp 44,61 triliun dari 180 perusahan yang telah menerima permohonan restrukturisasi. 

“Saya rasa jumlah kebutuhan penyangganya tidak besar. Karena kalau bank pelaksana masih sanggup dan punya surat-surat baiknya dimanfaatkan dulu. Saya belum bisa kasih detail, karena rinciannya masih kami hitung, tapi gambaran sudah ada,” sebutnya.

Ia menegaskan, proses penyangga likuiditas ini adalah murni business to business (B2B) dan sudah banyak best practice yang melakukannya, sehingga langkah ini bukanlah hal yang baru dalam bisnis perbankan.

Baca juga : Penurunan Harga BBM Akan Sangat Membantu Sektor UMKM

“Saya jamin nggak ada conflict of interest, karena ini channeling saja, komunikasi dua arah saya rasa akan smooth saja. Murni ini bisnis perbankan, namun likuiditasnya di-support pemerintah back to back. Dan ini akan dijaminkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jika bank pelaksana tak mampu bayar jalan terakhir di LPS. Sementara bagi bank peserta akan mendapatkan margin, ini paket komplit, kurang apalagi?” ujarnya.

Margin dalam hal ini adalah, keuntungan bunga yang akan didapat oleh bank peserta. Sebagaimana yang disebut Wimboh, besaran bunga ini juga masih dihitung. Namun katanya, bisa sama dengan besaran yang diminta BI saat membeli surat utang pemerintah.

Ia mencontohkan misalnya yang sekarang berlaku repo rate adalah dikisaran 4,5 persen. Dari rate ini, bank peserta akan mendapatkan margin. Sementara pembayaran bunga tetap dibebankan ke bank pelaksana. 

Meski begitu, Wimboh bilang, segala ketentuan dan mekanisme terkait bank penyangga likuiditas ini selanjutnya masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait aturan PP soal penyangga likuiditas. [DWI]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.