Dark/Light Mode

Catatan Adri Arlan Sinaga

Pemilihan Presiden, Demokrasi Ala Rusia dan Aksi Terorisme di Moskow

Jumat, 29 Maret 2024 13:23 WIB
Adri Arlan Sinaga (keempat kiri). (Foto: Dok. Pribadi)
Adri Arlan Sinaga (keempat kiri). (Foto: Dok. Pribadi)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden di Rusia telah usai. Sesuai prediksi, rakyat Rusia kembali memilih Vladimir Putin sebagai pemimpin mereka selama enam tahun ke depan. Posisi Putin sangat kuat meski maju secara independen. Pemimpin Rusia sejak 1999 ini tidak goyah seperti batu karang.

Mengacu data dari Komisi Pemilihan Pusat Rusia, pemilih Putin pada pemilu 2024 sebesar 88,48 persen dengan jumlah pemilih 87,5 juta penduduk dari total 143,4 juta populasi Rusia. Kemenangan telak ini menunjukkan bahwa tipe pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat Rusia.

Kerisauan media Barat terkait penurunan kualitas demokrasi yang terjadi di Rusia memang bisa diperdebatkan. Seperti yang kita ketahui, ketiga kandidat presiden lain dalam Pemilu Rusia tahun ini merupakan tokoh yang dianggap masih lingkaran Kremlin. Pesaing terdekat Putin, Nikolay Kharitonov dari Partai Komunis misalnya, hanya mendapatkan 4,37 persen suara.

Sebenarnya ada tokoh oposisi kuat yang disimbolkan dalam sosok Alexei Navalny. Navalny, pengacara sekaligus aktivis sosial yang dikenal dengan keberaniannya mengkritik Putin, tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilu karena statusnya sebagai tahanan. Momentum oposisi tidak mencapai puncaknya setelah Navalny dinyatakan meninggal dunia pada pertengahan Februari dalam masa penahanannya di penjara Arktik. Gelombang protes sempat terjadi saat pemakaman aktivis ini di Moskow awal Maret lalu. Namun demikian, Pemilu Rusia tetap berjalan pada 15-17 Maret 2024 sesuai rencana awal.

Dalam konteks hubungan internasional, Pemilu seringkali dipandang sebagai manifestasi kedaulatan negara dan ekspresi dari demokrasi. Teori realisme misalnya menekankan pada kepentingan nasional dan kekuasaan negara. Dalam Pemilu, realisme melihat Pemilu sebagai cara negara mempertahankan stabilitas dan legitimasi negara. Hal inilah yang dipahami Putin sebagai bagian memperpanjang kekuasaannya di Rusia melalui legitimasi demokrasi “khas” Rusia.

Baca juga : Abis Nyoblos, Warga Asyik Berpesta

Pemilu selama tiga hari di seluruh Rusia memang berjalan aman dan telah usai. Festival pesta demokrasi di Rusia ini sesungguhnya tidak ada bedanya dengan Pemilu di belahan negara lain. Berdasarkan pengamatan penulis ada beberapa faktor yang menjadi Pemilu Rusia ini berbeda dibanding negara lainnya. Kekuatan politik Putin yang dicap sebagai “tsar” Kekaisaran Rusia oleh media Barat tetap stabil. Meskipun banyak pihak yang mempertanyakan kredibilitas Pemilu.

Rakyat Rusia tetap percaya dengan kepemimpinan Putin yang sangat realis dengan proses pengambilan keputusan yang terpusat di Kremlin. Inilah yang dinamakan demokrasi “khas” Rusia. Pola kepemimpinan terpusat diharapkan mampu menyatukan Rusia yang memiliki beragam etnis dan budaya. Selain itu, ada beberapa langkah pembangunan nyata yang dilakukan oleh Putin untuk memperkuat pengaruhnya di mata rakyat.

Pertama, kepercayaan rakyat Rusia cukup tinggi kepada Putin. Rendahnya angka golongan putih atau apatisme di Rusia menjadi salah satu pertanda bahwa terlepas dari sanksi global yang diterima sejak 2014, faktanya masyarakat Rusia masih mampu bertahan dan melaksanakan aktivitas sehari-hari secara normal.

Kedua, kestabilan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dikhawatirkan menurun dan anjloknya mata uang Rubel di awal 2022 sempat membuat kepanikan di kalangan masyarakat. Rusia kemudian bertindak cepat dengan menjadikan India dan Republik Rakyat Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar dalam industri ekstraktif mereka. Embargo komoditas Rusia dan pelarangan penggunaan kode Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) di jaringan bank internasional oleh Barat kepada Rusia akhirnya membuat aktivitas ekspor-impor dilakukan dalam mata uang Renmimbi dan Rupee. Tidak defisit, justru pertumbuhan ekonomi Rusia tumbuh sebesar 3,6 persen di 2023 menurut International Monetary Fund (IMF).

Terakhir, pembangunan infrastruktur yang masif pun dilakukan oleh Putin di seantero wilayah, mulai dari Kereta Api Cepat Moskow-Saint Petersburg, jalan raya M12 yang menghubungkan Moskow dan Kazan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tatarstan, hingga  jalan penghubung antara Dzhubga dan Sochi sepanjang 1.600 meter di Timur Jauh yang menelan hingga dana 80 miliar dolar AS. Pekerjaan mengelola infrastruktur dengan kondisi geografis Rusia yang membentang luas ini tentunya tidak murah dan mudah, tapi pemerintah Putin nampaknya terus berusaha untuk menuntaskannya.

Baca juga : Sampaikan Pesan Presiden, Menko Hadi: Jangan Ada Karhutla Saat Ramadan Dan Lebaran

Pola kepemimpinan sentralistik tersebut tentu memiliki efek samping. Acapkali pemerintahan sentralistik menimbulkan gejolak ketidakpuasan di wilayah penyangga lain di Rusia. Memiliki predikat sebagai negara terluas di dunia, Rusia menghadapi kegelisahan masyarakat sipil yang disebabkan adanya ketimpangan perhatian dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah bisa menjadi hambatan internal.

Tulisan dari Pasarelli dan Tabellini (2017) yang berjudul Emotions and Political Unrest dalam Journal Political Economy, University of Chicago menjelaskan ketidakpuasan individual atas disparitas ekonomi antara pusat dan daerah terjadi karena tidak tepatnya pola kebijakan oleh pemerintah pusat. Kesenjangan tinggi dalam pemerataan distribusi ekonomi di wilayah Rusia lainnya.

Keadaan ini memunculkan keresahan sipil dan kelak menimbulkan serangkaian aksi protes hingga teror yang dilakukan di pusat pemerintahan atau ibu kota. Apalagi ekspor terbesar Rusia didominasi industri ekstraktif seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang diolah dari Kawasan Rusia Tengah, Kaukasus hingga Siberia, bukan di Moskow.

Ketidakpuasan hasil pembagian keuntungan dari industri ekstraktif antara pusat dan daerah ini menjadi akar dari beberapa protes hingga rangkaian aksi terorisme yang terjadi di Rusia. Salah satunya, kejadian biadab terorisme yang menewaskan 143 orang pengunjung konser musik di Krokus, Moskow pada 25 Maret 2024 lalu. Meski dihubungkan dengan aktivitas Islamic State – Khorasan (ISIS-K), namun fenomena ini juga sedikit menjelaskan tentang ketidakpuasan terhadap aktivitas Moskow yang merupakan simbol pemerintahan eks Uni Soviet terhadap kebijakan masa lalu.

Hal ini berimplikasi terhadap rendahnya tingkat ekonomi di Kawasan Asia Tengah seperti Tajikistan. Negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi terendah dibanding lima negara lain yang berada di Asia Tengah. Lokasi kejadian teror yang terletak di Moskow menunjukkan bahwa masalah ketimpangan ekonomi di daerah harus menjadi perhatian utama Putin. Pembangunan infrastruktur memang disinyalir akan menjadi perhatian utama pemerintahannya dalam 6 tahun ke depan.

Baca juga : Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi Aksi Damai Tolak Hak Angket

Putin sadar bahwa terjadi masalah ketimpangan distribusi kesejahteraan dan infrastruktur yang dibiarkan berlarut-larut. Hal ini jika tidak dieksekusi dengan baik, kelak akan terus menjadi api dalam sekam bagi kestabilan domestik Rusia. Padahal, faktor kestabilan politik inilah yang menjadi alasan utama mengapa mayoritas Masyarakat Rusia tetap memilih Putin.

Adri Arlan Sinaga
Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan. Email: [email protected]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.