Dark/Light Mode

Menggagas Fikih Siyasah Indonesia (1)

Antara Otoritas Agama dan Otoritas Politik

Rabu, 17 Mei 2023 06:15 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umat memiliki beberapa otoritas dan kapasitas.

Nabi memiliki otoritas sebagai pemimpin agama tak terbantahkan, karena memang secara tegas telah dilantik sebagai Nabi dan Rasul.

Ia tampil sebagai pemimpin sekaligus sebagai model umat Islam dengan directions langsung dari Tuhan berupa wahyu.

“Dan tiadalah yang diucapkan menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat” (Q.S. al-Najm/53:2-5).

Baca juga : Makna Spiritual Silaturahmi

Yang sering menjadi perdebatan ialah kapasitasnya sebagai “Kepala Pemerintahan” di Madinah saat itu.

Apakah kebijakan politiknya bagian dari otoritasnya sebagai Nabi dan Rasul, atau hanya dirinya sebagai pribadi yang mendapatkan dukungan restu dari masyarakat, bukannya otoritas langit.

Dengan kata lain, apakah kebijakan dan instruksi politiknya mempunyai otoritas religi yang sakral sehingga juga harus diwariskan kepada segenap generasi sesudahnya? Atau hanya ijtihad pribadi yang bersifat profan?

Dalam lintasan sejarah dunia politik Islam, umat terkadang sulit membedakan antara ajaran yang sakral dan ajaran bersifat profan.

Baca juga : Memelihara Akhlak Berpolemik

Ada di antara umat Islam tidak memilah-milah kapasitas Nabi sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dengan dirinya sebagai seorang Nabi dan Rasul merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Mengingkari salah satunya berakibat munculnya pelanggaran ajaran. Konsekuensinya kebijakan politik kontemporer Nabi pada saatnya harus menjadi “sunnah” yang mengikat bagi umat Islam secara keseluruhan.

Pendapat ini banyak diikuti oleh kelompok ahli tekstual (ahl al-dhahiri). Pendapat lainnya lebih tegas memberikan pemilahan antara diri Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul.

Bagi kelompok ini, tidak ada keharusan untuk mengikuti kebijakan Nabi yang bersifat politik kontemporer.

Baca juga : Konfigurasi Identitas Itu Indah

Apalagi jika konteks kebijakan itu sudah jauh berbeda dengan konteks yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Pendapat ini banyak diikuti oleh kalangan ulama moderat seperti komunitas Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Sandaran mereka juga masing-masing didukung oleh kalangan sahabat Nabi.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.