Dark/Light Mode

Eco-Anxiety Jangkiti Anak Muda Dunia

Senin, 29 April 2024 17:45 WIB
Prof. Siti Nurbaya
Prof. Siti Nurbaya
Menteri Lingkungan Hidup

RM.id  Rakyat Merdeka - Green Impact Days – Green Impact for Greener Indonesia dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-25 Rakyat Merdeka dengan tema tentang "Ketahanan Pangan, Air, dan Energi untuk Indonesia", sangat relevan dan telah menjadi perhatian Presiden RI, Bapak Joko Widodo. Misalnya terkait ketahanan pangan, telah dipikirkan dan diambil langkah-langkah tentang upaya ketahanan pangan sejak tahun 2017. Peristiwa Covid-19 memperjelas perhatian Bapak Presiden terhadap pangan. Pada saat terjadi dinamika dan gejolak politik global sekarang ini komitmen Bapak Presiden terhadap ketahanan pangan semakin jelas.

Demikian pula dalam hal energi, yang sejak awal telah dipikirkan dan diaktualisasikan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak akhir 2014, Beliau mengangkat dan mendorong upaya-upaya ketahanan energi, bersama bahu-membahu dengan berbagai unsur seperti Dewan Energi Nasional, Pemerintah, Pemda, dunia usaha seperti Pertamina, PLN, dan swasta, juga berbagai inisitaif dan masyarakat dalam upaya renewable energy seperti para aktivis, enterprenurs muda, dan para mahasiswa dan generasi muda, Society of Renewable Energy (SRE).

Begitupun dalam hal ketahanan air, dengan segala upaya dan kerja bersama untuk selalu dalam tindakan dan kerja kita dengan perhitungan daya dukung dan daya tampung untuk kegiatan/usaha atau carrying capacity dengan dasar keterpenuhan dan ketersediaan air. Dan bulan depan, pada pertengahan Mei 2024, di Bali akan berlangsung perhelatan internasional World Water Forum, yang Indonesia akan menjadi tuan rumah. 

Semua yang dirancang dalam rangkaian acara HUT Rakyat Merdeka ke-25 ini merupakan aspek dan dimensi sangat penting serta merupakan langkah jitu dan jawaban bagi kelangsungan hidup Indonesia kita.

Cita-cita saya saat mulai menjadi Menteri LHK di tahun 2014, saya terobsesi untuk Indonesia kita bisa memiliki Generasi Lingkungan, Generasi Muda yang deeply melembaga dengan kecintaan pada lingkungan. Rasa-rasanya sudah keliatan arah tersebut dengan atensi generasi muda kepada masalah sampah sejak tahun 2016-2017 dan dengan penananam pohon di tahun-tahun 2018-2019 dan dengan green leaders serta dalam 3-4 tahun terakhir ini dengan Society of Renewable Energy; di samping inisiatif dan langkah-langkah individual aktivis dan gerakan aktivis seperti green youth movement, Y-20, Adiwiyata, kader konservasi, aktivis peduli sampah, youth enterprenuers, dan lain-lain masih banyak lagi. 

KHLK saat ini sedang terus menghimpun kapasitas gerakan dan knowledge pooling dari masyarakat, khususnya generasi muda antara lain melalui green ambassador yang sedang terus menerus kita tingkatkan. 

Environmental Citizenship merupakan konsep pikir perilaku pro-lingkungan yang bertanggung jawab dari warga negara yang bertindak dan berpartisipasi dalam masyarakat sebagai agen perubahan di ruang privat dan publik pada skala lokal, nasional dan global. Perilaku pro-lingkungan dilakukan melalui tindakan individual maupun kolektif kearah penyelesaian masalah lingkungan saat ini, mencegah terjadinya masalah lingkungan baru, dan memelihara keberlanjutan dan mengembangkan hubungan yang sehat dengan alam. 

Konsep ini muncul pada awal tahun 2000-an dipelopori Dobson (2007, 2010), dan diikuti dengan munculnya konsep-konsep serupa seperti green citizenship (Barry, 2006), ecological citizenship (Jagers and Matti, 2010) dan sustainability citizenship oleh Barry (2006).

Konsep kewarganegaraan lingkungan atau generasi lingkungan, meskipun tetap relevan untuk mendorong perilaku individu pro-lingkungan namun belum memperoleh perhatian yang memadai karena beberapa hal yaitu:

  • Fokus pada Perilaku Individu sehingga mengaburkan permasalahan yang secara sistemik besar. Tindakan individu penting, namun tindakan pada tingkat ini tidak cukup memadai untuk mengatasi permasalahan struktural seperti pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, pencemaran udara perkotaan, dan rusaknya lahan akibat pertambangan liar.
  • Hak Istimewa dan Akses: Kewarganegaraan lingkungan lebih mudah diakses oleh individu yang memiliki hak istimewa yang memiliki sumber daya dan kapasitas untuk terlibat dalam aktivisme lingkungan dan kehidupan berkelanjutan. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan dan partisipasi dalam gerakan lingkungan hidup.
  • (Blame and Guilty) Menyalahkan dan Merasa Bersalah: Fokus pada tanggung jawab individu dalam kewarganegaraan lingkungan terkadang dapat menimbulkan perasaan bersalah atau disalahkan, terutama di antara mereka yang tidak mampu menerapkan praktik berkelanjutan karena kendala finansial, sosial, atau lainnya. Hal ini dapat menjadi kontraproduktif dan menghambat upaya untuk mendorong tindakan kolektif.
  • Ketidakefektifan Tindakan Skala Kecil: Beberapa kritikus berpendapat bahwa tindakan individu, seperti mendaur ulang atau mengurangi konsumsi energi, memiliki dampak yang terbatas dalam menghadapi tantangan lingkungan yang lebih besar, seperti perubahan iklim. Mereka berpendapat bahwa diperlukan perubahan yang lebih sistemis untuk mengatasi permasalahan ini secara efektif.

Baca juga : Green Impact Day Rakyat Merdeka Dorong Anak Muda Menuju Energi Hijau

Rakyat Merdeka dan SRE tahun ini mengambil tema Green Impact Days, yaitu ketahanan Pangan, Air, dan Energi. Bisa kita lihat bahwa Tema ini diadopsi dari konsep Food-Water-Energy Nexus, yang meskipun lahir hampir bersamaan dengan Environmental Citizenship pada awal tahun 2000-an, namun memperoleh momen politik penting saat ini. Sebanyak 159 kepala negara dan pemerintahan mendukung deklarasi COP 28 UAE tentang Pertanian Berkelanjutan, Ketahanan Sistem Pangan dan Aksi Iklim (yang merupakan versi serupa dari Food-Water-Energy Nexus). Dukungan juga diberikan dari dunia usaha dan para philantropies untuk menyalurkan bantuan dana sebesar 3,2 miliar dolar AS untuk pertanian regeneratif dan inovasi inisiatif iklim dan pangan. 

Nexus Pangan-Air-Energi adalah kerangka konseptual yang mengakui keterkaitan nyata antara sistem air, pangan, dan energi. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menggambarkan hubungan ini sebagai pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan serta sebagai sarana untuk memahami dan mengelola interaksi kompleks antara air, energi, dan pangan (FAO, 2014). Hubungan ini berfungsi untuk menyeimbangkan berbagai tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang menggunakan sumber daya Pangan-Air-Energi, sekaligus menjaga integritas ekosistem melalui pengelolaan terpadu.

Nexus Pangan-Air-Energi dibangun atas pilar-pilar disiplin ilmu yang sudah ada dan tidak menggantikan sama sekali Platform Integrated Water Resources Management yang dikembangkan Global Water Partnership (GWP) Bank Dunia dan United Nations Development Programme tahun 1996. Keduanya masih digunakan dan saling melengkapi (UN-DESA 2011). Tantangan laten dalam pengelolaan air adalah kurangnya integrasi antara sektor-sektor yang berinteraksi dengan air di seluruh wilayah geografis dan dalam wilayah sungai yang luas, bahkan sering kali bersifat lintas batas, melalui pengelolaan sumber daya air terpadu.

Nexus Pangan-Air-Energi menjadi penting karena:

  • 72% dari seluruh pengambilan air tawar digunakan oleh pertanian, 16% oleh industri, dan 12% oleh pemerintah kota (UN-Water, 2023).
  • Produksi pangan dan rantai pasokan menyumbang sekitar 30% dari total konsumsi energi global (FAO, 2011).
  • 90% pembangkit listrik global menggunakan air dalam jumlah yang banyak (PBB, 2014).
  • Cooling Water (Air Pendingin) pembangkit listrik bertanggung jawab atas 43% total pengambilan air tawar di Eropa (lebih dari 50% di beberapa negara), hampir 50% di AS, dan lebih dari 10% batas penggunaan air nasional di Tiongkok (PBB, 2014).
  • Permintaan air global diproyeksikan meningkat sebesar 20 hingga 30% pada tahun 2050 (PBB, 2018).
  • Pada tahun 2035, pengambilan air untuk produksi energi dapat meningkat sebesar 20% dan konsumsi sebesar 85%, didorong oleh peralihan ke pembangkit listrik dengan efisiensi lebih tinggi dengan sistem pendingin yang lebih canggih (yang mengurangi pengambilan air namun meningkatkan konsumsi) dan peningkatan produksi biofuel (IEA, 2012).

Informasi tentang degradasi sumber daya alam atau informasi tentang pencemaran dan ancaman bencana akibat perubahan iklim, seringkali memunculkan perasaan Blame and Guilty. Perasaan ini dikenal sebagai Eco-Anxiety. Eco-Anxiety menurut Clayton (2020) adalah kecemasan terkait dengan persepsi mengenai perubahan iklim, bahkan di kalangan masyarakat yang secara pribadi tidak merasakan dampak langsung apa pun dan secara lebih umum ketakutan terkait dengan informasi lingkungan yang bersifat negatif.

Doherty & Clayton (2011) mendifinisikan Eco-Anxiety sebagai dampak langsung dan tidak langsung mencakup emosi intens yang terkait dengan pengamatan dampak perubahan iklim di seluruh dunia dan kecemasan serta ketidakpastian mengenai skala risiko saat ini dan masa depan terhadap manusia dan spesies lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. American Psychological Association memberikan difinisi yang lebih luas yaitu ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan. 

Eco Anxiety ditemukan pada individu atau kelompok yang memiliki kepedulian besar terhadap masalah lingkungan hidup atau memiliki keterikatan perasaan dengan alam karena alasan budaya atau pribadi. Juga terjadi pada orang yang mengalami perubahan lingkungan fisik akibat perubahan iklim, seperti cedera atau stres akibat kondisi ekstrem cuaca. Tuna wisma atau orang yang harus mengungsi dan terlantar akibat perubahan iklim, atau menderita dampak kenaikan permukaan air laut, kekeringan atau cuaca yang tidak dapat diprediksi juga rentan terhadap Eco-Anxiety. Para naturalis dan ilmuwan iklim juga dapat menderita kecemasan lingkungan karena pengetahuan dan ikatan emosional mereka dengan alam (Yumiko Coffeya, 2021).

Clayton (2020) menemukan bahwa anak-anak lebih rentan terhadap dampak kesehatan mental perubahan iklim karena mereka memiliki respons yang lebih kuat terhadap peristiwa cuaca ekstrem seperti PTSD (post-traumatic stress disorder), depresi, dan gangguan tidur. Anak muda berusia 18-35 tahun juga dilaporkan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan orang lebih tua. Demikian pula, perempuan lebih berpotensi terkena Eco-Anxiety dibandingkan laki-laki mereka mengalami gangguan PTSD yang lebih tinggi setelah bencana dibandingkan laki-laki.

Zahra Biabani (2023), Climate Optimism: Celebrating Systemic Change Around the World mengaitkan Eco-Anxiety dikalangan generasi z disebabkan information overload, negativity instinct, privilege gaps, failure of,imagination, and echo chambers.

Baca juga : Cantik Berkerudung

Information overload disebabkan oleh akses luas ke internet yang membuka gerbang informasi tanpa batas. Informasi yang berlebihan dapat menjadi sebuah alat ampuh untuk memobilisasi atau sebaliknya melumpuhkan inisiatif atau aksi. Ketika dibombardir dengan informasi, terutama informasi yang dibingkai secara negatif, maka wajar saja jika kita sulit melepaskan diri dari godaan untuk terus menelusurinya. Akibatnya, kecemasan ini dapat menjebak kita dalam kelumpuhan tindakan. Alih-alih memikirkan solusi permasalahan sistemik yang kelihatannya sulit dipecahkan, seperti perubahan iklim, kita lebih mudah tergoda untuk terus menelusuri halaman sosial media atau internet untuk mencari informasi yang justru semakin menjebak kita dalam kecemasan. 

Negativity bias adalah fenomena dimana kita terprogram untuk menaruh perhatian yang berlebihan untuk cerita yang membangkitkan emosi negatif. Dalam studi yang dilakukan oleh Universitas McGill tahun 2014, peneliti menggunakan pelacakan mata untuk melihat artikel yang menarik pembaca yang diteliti, ketika disajikan cerita yang positif maupun negatif dari berbagai situs berita. Hasilnya menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa mereka lebih menyukai berita yang positif, ternyata sebagian besar sebenarnya lebih tertarik pada berita yang bernuansa negatif. Dengan kata lain, informasi dengan bingkai negatif lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan, lebih menarik perhatian pembaca, dan lebih dapat diterima dengan tingkat kepercayaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pernyataan setara yang dibingkai dengan cara positif.

Privilege gaps seringkali mengakibatkan distorsi persepsi mengenai bagaimana orang lain ada (exist) dan tubuh serta maju berkembang (thrive). Hal ini terjadi di dalam komunitas, kota, negara, dan lintas batas internasional. Kita cenderung memberi label pada orang dan komunitas yang tidak kita kenal atau identifikasi sebagai “orang lain”. Kita sering membesarbesarkan permasalahan yang kita lihat di tempat lain, mengklasifikasikannya sebagai permasalahan yang hanya terjadi di tempat tersebut, bukan di tempat kita, sembari menutup mata bahwa sejatinya permasalahan tersebut ada di depan mata kita. Misalnya minimnya akses terhadap air bersih tidak hanya menjadi permasalahan di Sudan Selatan, namun juga di Flint, Michigan, AS. Polusi udara tidak hanya menjadi ancaman bagi masyarakat di Jakarta atau Mumbai, tetapi juga di Compton, California, Amerika Serikat, dan Milan, Italia.

Konsep “orang lain” ini didefinisikan sebagai produk teori pasca-kolonial dan merupakan istilah sosiologis yang umum digunakan untuk menjelaskan bagaimana rasisme dan bentuk penindasan lainnya dapat dibenarkan. Ketika kita menjadi “orang lain”, lebih mudah untuk memperlakukan mereka secara berbeda. Dan karena kita adalah manusia yang memiliki naluri untuk melindungi diri sendiri dan keluarga kita, perlakuan yang berbeda seringkali mengarah pada perlakuan yang diskriminatif. Penggunaan doktrin “terpisah tapi setara” adalah contoh nyata privilege gaps.

Failure of Imagination kegagalan dalam mempersiapkan diri menghadapi kejadian tak terduga merupakan kelemahan utama yang membuat kita rentan terhadap kegagalan atau bencana. Fenomena ini terlihat jelas selama pandemi Covid-19. Meskipun dunia pernah mengalami banyak pandemi di masa lalu, kemunculan Sars-Covid-19 tidak terduga dan kita tidak siap menghadapinya.

Echo Chambers (ruang gema) adalah ruang gema yang terus memperkuat dan mengabadikan opini pendapat dan keyakinan yang kita miliki. Mereka ada di kiri, kanan, tengah, pinggiran, dan dimana-mana mengurung kita sehingga menguatkan dan memvalidasi sistem keyakinan dan opini kita. Seringkali, menyebabkan terjadinya budaya berpikir kelompok, saat nuansa dan perspektif individu dibungkam demi keyakinan kelompok yang kohesif. Algoritme media sosial menyebarkan ruang gema ini, menuntun kepada pengguna media sosial informasi yang lebih banyak mereka setujui dan lebih sedikit hal yang tidak mereka ketahui atau setujui. 

Zahra Biabani (2023) dengan baik menjelaskan bagaimana mengatasi Eco-Anxiety akibat information overload, negativity instinct, privilege gaps, failure of imagination, and echo chambers ini.

Wilson, P.J (2021) dalam artikel Climate Change Inaction and Optimisme di Jurnal Philosophies mengemukan bahwa kelambanan untuk bertindak (Climate Change Inaction) disebabkan anggapan bahwa perubahan iklim merupakan wicked problem, dan masalah tindakan kolektif (a collective action problem). Permasalahan sosial dianggap wicked (nakal, jelek, buruk), jika pendekatan terhadap kebijakan tersebut tidak dapat dikatakan benar atau salah, seperti dalam masyarakat yang kelompok sosialnya berbeda-beda yang mempunyai prioritas berbeda. Akibatnya masalah dianggap tidak dapat diselesaikan secara efektif. 

A collective action problem adalah masalah ketika sebenarnya semua pihak akan lebih baik (better off) jika bekerja sama secara kolektif, namun gagal melakukannya karena masing-masing memiliki kepentingan, khususnya mengejar keuntungan individu, yang bertentangan dengan kepentingan kolektif. Misalnya, penumpang bebas (free rider) dapat memperoleh manfaat dari barang-barang publik (jalan raya, layanan kesehatan, dan lain-lain) tanpa membayarnya, asalkan ada cukup banyak orang yang membayar. 

Baca juga : Tolong Jangan Sakiti Rakyat Kecil

Untuk mengatasi ini, maka Wilson menekankan pentingnya nada optimis dalam wacana publik untuk mengatasi fatalisme dan mendorong tindakan positif. Gerakan ini dikenal dengan Gerakan Climate Optimism. Climate optimism adalah pola pikir yang mengakui langkah-langkah positif dan pencapaian dalam mengatasi perubahan iklim, sekaligus mengakui tantangan dan kerugian yang ada. Ini bukan tentang menyangkal atau mengabaikan kenyataan yang ada, namun memahami bahwa kita mempunyai solusi dan momentum untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk. Optimisme iklim bertujuan untuk menginspirasi dan memberdayakan masyarakat untuk mengambil tindakan dan menemukan peran mereka dalam gerakan iklim.

Untuk membangun nada optimis dalam wacana publik guna mengatasi fatalisme dan serta mendorong tindakan positif, maka strategi Generasi muda, khususnya Generasi Z, di antaranya yaitu:

  • Take Actions (Ambil Tindakan): Terlibat dalam kegiatan yang berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan dapat membantu meringankan perasaan tidak berdaya. Hal ini dapat mencakup menjadi sukarelawan untuk organisasi lingkungan hidup, berpartisipasi dalam aksi atau protes terkait perubahan iklim, atau melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan.
  • Stay Informed, but Set Limits (Tetap Terinformasi, namun Tetapkan Batasan): Tetap terinformasi tentang isu-isu lingkungan, namun perhatikan jumlah berita dan media yang Anda konsumsi. Membatasi paparan terhadap informasi yang menyusahkan dapat membantu mengurangi perasaan kewalahan.
  • Connect with Others (Terhubung dengan Orang Lain): Bergabung atau menciptakan komunitas individu yang berpikiran sama dapat memberikan rasa dukungan dan solidaritas. Hal ini dapat dilakukan melalui media sosial, kelompok lingkungan setempat, atau klub sekolah.
  • Practice Self-Care (lakukan Perawatan Diri): Menjaga kesejahteraan fisik dan mental Anda adalah penting. Hal ini dapat melibatkan olahraga, menghabiskan waktu di luar ruangan, praktik mindfulness, atau berdiskusi dengan para profesional.
  • Focus on Solutions (Fokus pada Solusi): Daripada terus memikirkan masalah, fokuslah pada solusi dan tindakan positif yang bisa diambil. Rayakan kemenangan kecil dan kemajuan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
  • Educate Others (Mendidik Orang Lain): Berbagi pengetahuan dan minat Anda terhadap isu-isu lingkungan dapat memberdayakan orang lain untuk mengambil tindakan, menciptakan efek perubahan positif.

Dengan demikian, maka sesungguhnya, hal-hal yang telah dilakukan Media Rakyat Merdeka dan Society of Renewable Energy (SRE) dengan melibatkan 47 kampus ternama di Indonesia dengan anggota mencapai 4 ribu orang merupakan bentuk aktualisasi dari prinsip Climate Optimisme. Kegiatan kolaborasi antara Rakyat Merdeka dan Society of Renewable Energy dengan membuat kompetensi penulisan artikel dengan tema energi dan perubahan iklim yang dikemas dalam National Energy, Climate, and Sustainability Competition 2024 adalah bentuk Take Actions, Stay Informed, but Set Limits, Connect with Others, Practice Self-Care, Focus on Solutions dan Educate Others.

Kompetisi ini sangat penting, terutama pada konteks dimana kita sedang sangat aktif bekerja dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim, dengan berbasis pada pengetahuan. Pengetahuan lokal, keseharian dan hal-hal yang dilakukan dalam praktek secara empirik, di samping pengetahuan ilmiah dankonvensi-konvensi global, berbasis keilmuan, merupakan materi yang sangat berharga yang akan makin bernilai tinggi di waktu-waktu mendatang. 

Oleh karena itulah, sejak awal 2016, melalui forum Pojok Iklim yang sudah dirintis KLHK dalam beberapa tahun serta kita tingkatkan dan kembangkan dalam Rumah Konsultasi dan Kolaborasi Iklim dan Karbon di KLHK, sebenarnya diorientasikan untuk antara lain membangun knowledge pooling selain, RKKIK untuk kepentingan konsultasi berkenaan dengan aktivitas aksi-aksi terkait dengan karbon, apakah dari aspek aksi mitigasi, adaptasi termasuk Nilai Ekonomi Karbon serta aktualisasi perdagangan karbon Indonesia yang mensyaratkan ketaatan pada tata kelola karbon menurut ketentuan secara konsitutional dan dengan payung ketentuan menurut konvensi global. 

Selamat kepada para pemenang National Energy, Climate, and Sustainability Competition 2024. Saya menyampaikan secara tulus apresiasi yang tinggi atas dedikasi dan kerja keras yang telah Anda tunjukkan dalam kompetisi sini. Kompetisi ini bukan hanya sekedar ajang untuk meraih kemenangan, tetapi juga merupakan sebuah kesempatan untuk memperjuangkan isu-isu penting yang berkaitan dengan masa depan bumi kita. 

Karya yang telah Anda susun tidak hanya menginspirasi, tetapi juga membawa kontribusi yang berarti dalam upaya kita bersama untuk mengatasi tantangan lingkungan dan perubahan iklim. Dengan semangat inovasi dan kepedulian Anda, saya yakin bahwa kita dapat terus bergerak maju dalam menciptakan solusi-solusi berkelanjutan untuk generasi masa depan. Teruslah bersemangat dan berkontribusi dalam upaya menjaga keberlanjutan bumi kita. Terima kasih Generasi Muda Indonesia. 

Mari kita wujudkan Indonesia yang lebih hijau, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang. Sekali lagi, selamat kepada para pemenang, dan mari kita teruskan perjuangan kita untuk mewujudkan dunia yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi semua.

Prof. Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 
Disampaikan saat pembukaan Pembukaan Green Impact Days, di Sabuga ITB, Bandung, Senin (29/4/2024), yang digelar Rakyat Merdeka dan Society of Renewable Energy (SRE).

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.