Dark/Light Mode

Ancaman Reshuffle Cuma Gertak Sambel

Rabu, 8 Juli 2020 09:05 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Di luar negeri, Donald Trump termasuk pemimpin yang gemar menebar FAC. Temperamennya yang emosional memang mendukung Trump untuk “mengobral” komunikasi gertak ancaman. Xi Jin-Ping, Presiden RRT, sudah beberapa kali digertak oleh Presiden Amerika. Trump, misalnya, mengeluarkan peringatan keras jika parlemen Cina meloloskan Undang-Undang Keamanan Nasional terkait wilayah Hong Kong. Jin-ping hanya senyum-senyum. Hong Kong adalah bagian dari RRT, maka RRT bisa berbuat apa saja tentang Hong Kong; kira-kira begitu paradigma Jin-ping. Setelah UU Kamnas Hong Kong disahkan, otoritas China pekan lalu, ancaman Washington tidak ada kelanjutannya.

Aksi-aksi demo massal yang pecah di berbagai kota besar Amerika, termasuk New York dan Washington pasca kematian warga kulit hitan bernama George Floyd juga membangkitkan amarah Presiden Trump. Ia mengancam publik untuk bertindak keras dengan memerintahkan tentara (National Guard) menumpas aksi-aksi kekerasan massa. Kenyataannya, ancaman itu tidak dilaksanakan betul-betul.

Baca juga : Jokowi `Disentil` Komisi IX DPR RI

Apakah Presiden Jokowi juga gemar meluncurkan fear-arousing communication? Tentu! Jangan lupa, Jokowi juga seorang manusia, meski Presiden R.I., manusia yang adakalanya juga gundah hatinya, kemudian diamuk amarah keras. Nah, dalam situasi amarah, pemimpin mana pun adakalanya menggertak dan mengancam “lawannya” atau orang-orang yang tidak disukainya.

Peristiwa Jokowi marah-marah waktu sidang kabinet paripurna tanggal 18 Juni yang lalu menjadi bahan perbincangan di mana-mana dari Sabang sampai Merauke. Jokowi yang sehari-hari tampil dengan gaya komunikasi konteks tinggi, koq tiba-tiba gaya komunikasinya berubah total jadi konteks rendah??

Baca juga : Presiden Harus Tolak RUU HIP!

Ketika memberikan sambutan pada sidang kabinet paripurna di Jakarta tanggal 18 Juni 2020, Presiden Jokowi menumpahkan uneg-uneg dan amarahnya. Ia mengecam para menterinya yang dinilai bekerja “biasa-biasa” saja, tidak ada sense of crisis, padahal Indonesia sudah 3 bulan memasuki suasana krisis. Ia mengutip laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang menyebut bahwa ekonomi dunia akan terkontraksi hingga minus 6-7,6%. Begitu juga prediksi Bank Dunia yang menyebut ekonomi dunia minus 5%. “Jangan menganggap saat ini sebagai sesuatu yang normal, karena akan sangat berbahaya.”
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.