Dark/Light Mode

Jurnalistik Ofensif: Najwa Versus Luhut

Kamis, 8 Oktober 2020 07:57 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Dalam ilmu jurnalistik, jurnalistik yang diterapkan Nana yang cenderung menyerang ketika mewawancarai narsum disebut offensive journalism, jurnalisme ofensif: Serang dan serang terus hingga narsum “kepepet”. Dalam proses menyerang, Nana memang kerap melontarkan humor dan guyon sebagai “bumbunya” untuk memancing pemirsa tertawa...... Namun, tidak jarang humor yang dilemparkan Nana adakalanya bernuansa melecehkan/menertawakan narsum juga.

Seorang pakar etika jurnalistik dari SUNY University di New York, Shakuntala Rao, mengemukakan jurnalistik ofensif tidak beda dengan tabloid journalism. Artinya, dalam jurnaliatik ofensif, Anda boleh omong apa saja, termasuk materi atau pendapat yang mungkin dapat membangkitkan amarah dan kebencian komunikan. Bebas bicara apa saja, seolah tidak ada limitasi etika. Jurnalistik jenis ini tidak jarang bisa menjebloskan pewawancara jatuh dalam jebakan, relativist trap, tanpa disadarinya.

Baca juga : Pagi Ini, 55 Tahun Yang Lalu

Apa sebab Nana punya kebiasaan menyerang dan menyerang narsum ketika berwawancara? Mungkin Nana merasa sudah begitu hebat popularitasnya sehingga boleh bicara apa saja dengan gaya apa saja. Tujuannya, mungkin untuk lebih melambungkan popularitasnya dan rating program yang diasuhnya. Maka, seorang mantan diplomat senior kita berkilah “Najwa succumbs from the ills of her imagined fame”, ia jatuh dalam perangkap persepsinya sebagai jurnalis sangat kondang.

Jurnalis yang mempersepsikan dirinya punya nama meroket tiba-tiba digebuk oleh seorang “super minister” bernama Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi.

Baca juga : Skandal Pinangki Dan Mimpi Ketemu Pak Ali Said

Tipe menteri kita yang satu ini sebetulnya juga punya watak mirip-mirip Nana. Di mana-mana Luhut kerap menampilkan dirinya sebagai menteri yang serba tahu, serba benar dan serba bijak. Arogan? Entah kebetulan atau tidak, selama hampir 6 tahun jadi pembantu dekat Presiden Jokowi, Luhut mendapat tugas macam-macam dari presiden, kerap melampaui tugas resmi yang diembannya. Ketika merayakan HUT Konperensi Asia Afrika pada 2015, Luhut-lah yang ditunjuk sebagai Ketua Panitia. Ketika Bank Dunia dan IMF menyelenggarakan konperensi internasional di Bali, dihadiri oleh sekian puluh kepala negara dan perdana menteri, Luhut juga yang tampil sebagai Ketua Panitia. Dia banyak bicara dan buat rencana tentang pariwisata. Proyek Danau Toba seolah miliknya; seolah Menteri Pariwisara kita non-job. Urusan pariwisata di kepulauan Bajo, Luhut juga yang paling tampil.

Urusan ekonomi nasional pun, dia banyak bicara dengan nada keras. Dia menantang siapa saja yang suka mempermasalahkan masalah utang negara kita. Ia menyatakan kesiapannya berdebat terbuka dengan siapa saja. Namun, ketika Dr. Rizal Ramli menyatakan siap berdebat dengan Luhut dan Sri Mulyani soal utang, Luhut diam. Soal investasi asing, Luhut juga yang terkesan paling aktif ngomong, apalagi investasi RRT di berbagai proyek Sulawesi, khususnya lagi tentang keterlibatan ratusan tenaga kerja Cina di sana. Luhut pasang badan membela mati-matian soal ini, sampai-sampai Menteri Tenaga Kerja pun tidak berani ngomong. Gubernur, Bupati dan Walikota setempat yang semula bicara keras di layar televisi menentang keterlibatan begitu banyak tenaga kerja Cina, akhirnya, dibuat bertekuk-lutut oleh Luhut: DIAM semua! Ada teman yang berkilah: lalu, apa kerja Ketua BKPM kita, Pak?
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.