Dark/Light Mode

Gatot, Istana Dan Bintang Mahaputera

Kamis, 12 November 2020 08:03 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Dari fakta ini, posisi Prof. Mahfud MD sebagai Menko Polhukam juga patut dipertanyakan. Jangan lupa, Mahfud seorang politisi juga, meski kiprahnya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tempo hari disanjung banyak pihak. Setelah pensiun dari Mahkamah Konstitusi dan aktif di dunia politik – sebagai Manajer Kampanye Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 , sepak-terjang Mahfud sungguh hebat. Mahfud-lah yang berani berteriak keras bahwa penyusunan undang-undang di DPR kadang bersifat “buatan” atau “titipan”. Kiprah Mahfud sebagai pegiat anti-korupsi jug tergolong “jempolan”. Terkait masalah RUU anti-korupsi tahun lalu, Mahfud bersama 11 tokoh lain menghadap Presiden Jokowi dan mendesak Presiden untuk menolak RUU tsb. yang diyakini bertujuan untuk memandulkan KPK. Sayang, setelah ia masuk kabinet sebagai Menko Polhukam, kiprahnya memperkuat KPK tiba-tiba memble.

Sebagai Menko Polhukam, Mahfud juga dinilai “too much talk”. Menteri koq sering terlibat talk-show di televisi. Jangan lupa, Menko Polhukam itu BUKAN juru-bicara Presiden. Presiden sudah memiliki Jubir yang sah. Dalam banyak permasalahan, seyogianya Jubir Presiden, atau Menteri/Sesneg yang memberikan keterangan resmi kepada rakyat melalui pers.

Baca juga : Kasus Suap Proyek Jalan BPJN IX Belum Tutup Buku

Selama ini Menko Polhukam biasanya dijabat pensiunan TNI bintang 4, mantan Panglima TNI. Ada baiknya, Presiden Jokowi mempertimbangkan kembali tradisi ini. Sipil yang pernah aktif sebagai politisi – apalagi pernah calon kuat Wakil Presiden pada Pilpres tahun lalu yang gagal karena fakor XYZ – kurang pas untuk menjabat Menko Polhukan.

Keterangan pers Mahfud sebelumnya juga terkesan normatif dan tidak substantif. Ia menegaskan pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap Gatot, sebab sebagai mantan Panglima TNI, Gatot memang berhak mendapat anugerah Mahaputera. Ia lupa, sebelum masalah Anugerah Bintang Mahaputera mencuat, Gatot sudah diberikan stempel sebagai politisi oposan yang menggoyang-goyang pemerintah, terutama melalui KAMI. Stempel atau citra publik ini, sebagian, digulirkan oleh pemerintah sendiri. Bukankah penangkapan sejumlah aktivis KAMI oleh aparat keamanan, dengan sendirinya, suatu tohokan keras juga kepada Gatot mengingat kedudukannya sebagai salah satu Deklarator KAMI ? Bukankah Gatot beberapa kali dilarang berpidato di depan para pendukung KAMI di berbagai kota?

Baca juga : Jika Biden Menang, Apa Yang Akan Dilakukan Trump?

Setelah citra publik itu terpatri, tiba-tiba mencuat berita bahwa Presiden akan memberikan Bintang Mahaputera kepada Gatot. IRONIS sekali !!!! Skakmat untuk Mahfud. Sekali lagi, kita mempertanyakan bagaimana proses penentuan Gatot diberikan Maha Putera tempo hari. Mau tidak mau publik menarik kesimpulan – meski belum tentu benar – bahwa Mahaputera untuk Gatot bertujuan untuk merangkul kembali Gatot.

Tentu saja, Gatot harus dia politisi piawai, tidak bisa dilihat sebagai perwira tinggi TNI saja. Jika benar dia tidak pernah bermaksud untuk menggulingkan pemerintah Jokowi, apalagi ingin menjadi Presiden, Gatot pasti sakit hati karena selama ini telah “dizolimi” oleh pemerintah. Maka, penolakannya terhadap Bintang Mahaputera bisa saja dinilai sebagai aksinya mengkepret wajah Presiden Jokowi!

Baca juga : Rusuh Dan Siaga TNI

Kasihan, Presiden kita dipermalukan oleh Gatot. Adakah kemungkinan peristiwa ini akibat ulah sengaja sementara pembantu dekatnya sendiri ?! ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.