Dark/Light Mode

Harmoko: Wartawan Yang Sukses Besar

Selasa, 6 Juli 2021 07:40 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Aksi-aksi unjuk rasa massal, terutama oleh mahasiswa, melanda di berbagai kota seluruh Indonesia. Di bidang ekonomi, Indonesia memasuki krisis pada awal 1998. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Satu per satu bank swasta berguguran hingga membuat masyarakat berbondong-bondong menarik dananya yang semula mereka simpan.

Situasi itu diperparah dengan anjloknya nilai tukar rupiah hingga Rp 16.000 per dolar AS. Devisa negara tergerus hanya tinggal 20 miliar dolar AS. Dalam waktu bersamaan, utang pemerintah mencapai 130 miliar dolar AS.

Maret 1998, MPR menggelar Sidang Umum, terutama untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ketika menutup Sidang Paripurna VI yang memilih kembali Pak Harto sebagai Presiden dan Prof Habibie sebagai Wakil Presiden, Harmoko mengetukkan palu sebanyak tiga kali.

Baca juga : PPKM Mikro, Wisata Candi Arjuna Dieng Ditutup Sementara

Tiba-tiba palu sidang patah saat diketukkan. Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR. Suatu insiden yang tidak pernah terjadi dalam sejarah MPRS/MPR. “Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...,” tulis Harmoko dalam buku “Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko”.

Saat itu, Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto, berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan kursi pimpinan MPR. Peristiwa itu tentu saja juga disaksikan Presiden Soeharto yang hadir dalam ruangan.

Harmoko mengaku, hatinya terguncang melihat insiden ini. “Hati saya bertanya-tanya,” ujarnya dalam buku.

Baca juga : Ajang Pembalasan Les Bleus

Usai sidang, seperti biasa, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Habibie meninggalkan ruangan. Sambil berjalan di atas karpet menuju lift Gedung MPR-DPR, batin Harmoko terus diliputi pertanyaan-pertanyaan tentang patahnya palu dalam persidangan.

Tepat di depan lift, ia menyatakan permohonan maaf ke Presiden Soeharto. “Saya minta maaf, palunya patah.” Pak Harto tersenyum, menjawab dengan kalem “Tidak apa-apa, barangkali palunya patah...”

Puluhan ribu mahasiswa setiap hari berdemo dan menduduki gedung DPR/MPR, Sabtu, 18 Mei 1998. Aksi menduduki gedung dewan itu merupakan puncak dari serangkaian aksi di sejumlah kota besar. Tuntutan utama mereka tidak berubah: Soeharto mundur.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.