Dark/Light Mode

Masih Ada Penolakan Terhadap RKUHP, Kali Ini Mengenai Pasal Penodaan Agama

PRATIWI FEBRY : Ganti Penghinaan Dengan Siar Kebencian

Jumat, 5 Juli 2019 11:33 WIB
Masih Ada Penolakan Terhadap RKUHP, Kali Ini Mengenai Pasal Penodaan Agama PRATIWI FEBRY : Ganti Penghinaan Dengan Siar Kebencian

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi III DPR mengklaim telah merampungkan 99 persen Rancangan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut Komisi III DPR, RKUHP tinggal pada tahap sinkronisasi dan ditargetkan rampung pada masa sidang ini. Meski begitu, masih ada saja LSM yang meminta supaya RKUHP tidak segera disahkan. Kali ini yang mengajukan penolakan adalah Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama Atau Berkeyakinan. 

Alasan mereka menolak RKUHP segera disahkan, karena ada beberapa pasal terkait penodaan agama, yang mereka anggap multitafsir. Pasal yang mereka anggap multitafsir adalah, Pasal 250 dan Pasal 313 yang mengatur soal penghinaan agama. 

Pasal 250 RKUHP berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. 

Sedangkan Pasal 313 RKUHP berbunyi, “Setiap Orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V”. 

Baca juga : Andi Faisal : Kriteria, Tolak Ukur Dan Metodologinya Apa

Lantas, pasal berapa saja yang mereka anggap multitafsir selain dua pasal tersebut? Kenapa mereka menganggap frasa pada dua pasal tersebut multitafsir? Bagaimana pula respon Komisi III DPR terhadap masih munculnya penolakan ini? Berikut tanya jawabnya.

Apa saja pasal yang Anda anggap multitafsir? 
Pertama, Pasal 2 RKUHP mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, yang tidak diatur dalam KUHP. Tapi, menurut pasal ini, hukum itu tetap berlaku. Ini artinya menyimpang dari asas legalitas. Meskipun dikatakan, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Ketentuan ini telah membuka celah penerapan hukum, makanya ketentuan ini kami anggap multitafsir. 

Hukum yang berlaku di masyarakat itu hukum seperti apa? 
Itu tidak dijelaskan di situ. Dalam penyusunan delik pidana, asas legalitas seperti lex scripta dan lex stricta itu betul-betul harus strict. Maksudnya, jangan sampai unsur dari delik, bisa ditafsirkan dengan sangat luas oleh masyarakat. Hukum pidana nggak bisa seperti itu dirumuskannya. 

Yang dimaksud di situ, bukannya hukum adat? 
Kalau itu memang merujuk kepada hukum adat, karena negara memang mengakui hukum adat, maka ditulis saja langsung hukum adat. Jadi, dia tidak membuka ruang multitafsir, sehingga orang bisa mengartikan lain, itu yang kami hindari. 

Baca juga : Noryamin Aini : Orang Yang Fundamentalis Cenderung Tidak Toleran

Efeknya seperti apa? 
Bisa jadi nanti, ada satu kelompok yang menganut nilai-nilai ekslusifitas, yang ternyata bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keberagaman. Itu bisa disebut sebagai sebuah hukum yang berlaku di masyarakat, tapi hanya di kelompok mereka. Ketika itu diterapkan dalam konteks hukum pidana, ya tidak bisa. 

Apa kekhawatiran Anda? 
Kami khawatir, ketentuan itu berpotensi melegitimasi tindakan intoleransi. Misalkan di suatu daerah ada ketentuan tak tertulis di masyarakat, bahwa tidak boleh melakukan sesuatu. Begitu mereka menemukan ada yang melakukan tindakan tersebut, maka terjadilah tindakan vigilante, atau main hakim sendiri. 
Mereka membobol rumah, masuk ke rumah tanpa izin, dengan klaim bahwa itu adalah hukum yang berlaku di tengah masyarakat sini. Tidak bisa dong. Buat kami, kalau KUHP dirumuskan terbuka seperti itu, maka bertentangan dengan asas legalitas yang diyakini dalam hukum pidana sendiri. 

Harus disebutkan secara spesifik? 
Iya. Kami mengerti, kami menangkap maksud baik dari pembuat undang-undang. Bahwa mereka menyadari bahwa ada hukum lain, selain norma hukum. Ada hukum adat, yang memang sudah diakui sebagai bagian dari hukum nasional. Kalau begitu ditulis saja, hukum adat atau hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat. 

Bagaimana penerapannya? 
Hukum adat ini nanti kita bisa tarik ke dalam undang-undangnya, karena memang ada jalurnya. Meskipun, tidak semua hukum adat itu sudah di-acknowledge hukum nasional. Sekarang masih dalam proses, mengingat undang-undang masyarakat adatnya juga baru disahkan. Ini masih masa transisi, tapi tidak masalah, karena memang negara bermaksud mengakomodir hal tersebut. Tapi kalau dibuka luas, itu justru akan bikin kacau. 

Baca juga : ACHMAD BAIDOWI : Kalah Ya Kalah Saja, Tak Usah Diistilahkan

Pasal apalagi yang multitafsir? 
Pasal 250 dan 313 masih menggunakan kata ‘penghinaan’, padahal penghinaan itu bersifat subyektif. Pasal 250, meskipun semangatnya baik, tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir. Selain itu, hukuman terhadap penghinaan, menurut para ahli di dunia, diarahkan kepada tanggung jawab perdata. Kalaupun pidana hendak mengatur penghinaan, maka pemidanaannya adalah denda. Kemudian, dalam Pasal 313, kata penghinaan sebaiknya diganti dengan “siar kebencian”, untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan. Hal ini juga sesuai dengan kecenderungan internasional, sebagaimana dalam evolusi Resolusi Dewan HAM, yang menggeser “penodaan agama’ menjadi ‘memerangi Intoleransi’. Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAMPBB pada tahun 2011, karena penggunaan istilah ‘penodaan agama’ telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara. 

Kenapa frasa ‘penghinaan’ itu Anda anggap subjektif? 
Penghinaan itu kami anggap subjektif, karena ketika seseorang merasa dihina, maka dia bisa langsung melapor. Yang dilaporkan, bisa kena pasalnya. Makanya, saat ini kami sudah tidak sepakat dengan delik perbuatan tidak menyenangkan, pencemaraan nama baik dan penghinaan. Bicara soal norma hukum, bicara soal delik pidana, atau rumusan kejahatan, ini sangat berbeda dengan perumusan undang-undang lain. Kalau undang-undang lain, dia masih bisa dijelaskan, atau diatur kembali secara spesifik dengan aturan turunan. KUHP harus bisa langsung digunakan aparat penegak hukum, tak bisa menunggu tafsiran dari mana lagi. 

Apa bedanya dengan siar kebencian? 
Kalau siar kebencian ini secara hukum internasional pun, sudah ada diskursusnya. Siar kebencian itu sudah ada indikatornya, bahkan dari kalimatnya. Ada kata ‘siar’ di depannya, bukan kebencian. Kebencian itu memang subjektif, jadi harus ada kata siar-nya. Kalau saya benci sama Anda kan boleh-boleh saja, itu hak saya. [NDA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.