Dark/Light Mode

Independensi Badan Pemeriksa Keuangan Diragukan Jika Dipimpin Politisi

ALMAS SJAFRINA : BPK Lembaga Strategis Sehingga Perlu Dijaga

Senin, 8 Juli 2019 11:09 WIB
Independensi Badan Pemeriksa Keuangan Diragukan Jika Dipimpin Politisi ALMAS SJAFRINA : BPK Lembaga Strategis Sehingga Perlu Dijaga

RM.id  Rakyat Merdeka - Sembilan politisi rmendaftar sebagai calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024. Mereka adalah Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat), Daniel Lumban Tobing (PDI-P), Akhmad Muqowam (PPP) dan Tjatur Sapto Edy (PAN). Kemudian ada Ahmadi Noor Supit, Ruslan Abdul Gani (Golkar), Pius Lustrilanang, Wilgo Zainar dan Haerul Saleh (Gerindra). 

Sembilan nama politisi yang mencalonkan diri ini, merupakan orang-orang yang gagal dalam Pemilu 2019. Nurhayati merupakan Caleg yang gagal kembali ke Senayan karena tidak lolos di Dapil Jawa Timur 5; Daniel tidak lolos di Dapil Jawa Barat VII, Akhmad Muqowam tidak lolos di Dapil Jawa Tengah 1, sementara Tjatur gagal maju lewat DPD Maluku Utara. 

Noor Supit juga gagal melanjutkan ke periode ketiga di Senayan setelah kalah suara di Dapil Kalimantan Selatan 1, lalu Ruslan Abdul Gani gagal menjadi anggota DPRD di daerah Kota Pagar Alam, sementara Pius gagal lolos ke Senayan lewat Dapil NTT 1, dan Willgo Zainar tidak lolos di Dapil NTB 2, begitu juga dengan Haerul Saleh yang gagal lolos di periode kedua setelah maju di Dapil Sulawesi Tenggara. 

Keberadaan sembilan politisi yang mendaftar sebagai calon anggota BPK 2019-2024 ini, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Meski para politisi ini diharuskan mundur dari partainya, namun tetap ada kekhawatiran terjadi conflict of interest. BPK dikhawatirkan tidak independen jika banyak anggotanya merupakan kalangan politisi. 

Baca juga : HENDRAWAN SUPRATIKNO : Kami Tidak Lihat Politisi Atau Bukan

Bagaimana tanggapan Komisi XI DPR terkait hal ini? Apa yang bisa mereka lakukan guna menjawab potensi hilangnya independensi BPK akibat banyak politisi yang mendaftar? Berikut wawancaranya.

Secara undang-undang, politisi tidak dilarang untuk mendaftar, dan harus keluar dari keanggotaan partai ketika terpilih. Kenapa ICW masih khawatir? 
Kalau kita lihat berdasarkan regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, memang tidak ada yang salah ya. Karena memang, di situ tidak ada larangan bagi politisi, entah itu baru mengundurkan diri atau misalnya ikut pemilu tetapi tidak terpilih, untuk mencalonkan diri sebagai anggota BPK. Memang secara regulasi sah-sah saja. 

Lalu apa masalahnya? 
Tetapi kan perlu dilihat, bahwa BPK ini lembaga yang strategis, sehingga perlu dijaga juga independensinya. Karena, dia berada di posisi tertinggi dalam pemeriksa keuangan. Demi menjaga independensi ini, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah masalah relasi politik. Kami khawatir, ketika pimpinan diisi oleh politisi, orang dari partai politik gitu ya, mau dia sudah berhenti atau tidak, kami khawatir akan tetap mempengaruhi sikap sebagai pimpinan BPK ketika melakukan audit keuangan. 
Ini bukan hanya soal integritas dan kompetensi sebagai pimpinan BPK, karena bisa jadi anggota DPR atau politisi memenuhi persyaratan tersebut. Tetapi lebih kepada masalah independensinya. Oke seorang politisi bisa jadi mempunyai integritas yang tinggi juga, bisa jadi punya kompetensi yang cukup untuk jadi pimpinan BPK. Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana dengan independensi itu. 

Kenapa begitu? 
Karena pertama, pimpinan BPK ini kan dipilih oleh DPR, dengan pertimbangan dari DPD. Bukan dipilih seperti misalnya pemilihan Komisioner KPU, atau Komisioner Bawaslu, atau Komisioner KPK, dimana ada panitia seleksinya yang berasal dari berbagai macam unsur, dan ada peran dari Presiden. Kalau ini kan benar-bemar tunggal dipilih oleh DPR, dengan pertimbangan oleh DPD. Jadi dari proses seleksi saja, kami mengkhawatirkan ada konflik kepentingan. Ini belum ketika para politisi yang daftar ini duduk menjadi pimpinan BPK ya. Baru di proses seleksinya saja sudah rawan konflik kepentingan. Karena mantan anggota DPR, atau caleg-caleg yang tidak terpilih ini, akan diseleksi oleh rekannya sendiri di DPR. Mereka adalah teman, walaupun mungkin para kandidat ini sudah berhenti. 

Baca juga : MARDANI ALI SERA : KPU Bekerja Saja Sesuai Aturan, Tak Perlu Takut

Aturannya bagaimana? 
Kalau kita lihat Pasal 13 huruf G saja ada persyaratan, paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Semangat dari persyaratan ini kan, untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan. Nah, kenapa hanya pengelola keuangan.Padahal, nggak hanya pengelola keuangan saja yang memiliki konflik kepentingan, terhadap jabatan pimpinan BPK. 

Politisi juga ya? 
Iya, khususnya mereka yang sudah pernah duduk di DPR. Menjadi pertanyaan juga ya, kalau memang mau jadi pimpinan BPK, kenapa harus ikut Pemilu 2019. Ini kan menimbulkan kesan, mereka mencalonkan diri karena tidak mendapatkan kursi pada Pemilu 2019. Kalau memang mau berkontribusi kepada negara melalui jalur pimpinan BPK, nggak perlu ikut kompetisi Pemilu 2019. 

Anda mau bilang, jadi seperti orang nyari kerja? 
Cari kerja atau cari jabatan, saya tidak tahu. Tapi, walaupun tidak menyalahi Undang-Undang 15/2006 tentang BPK, tidak etis saja kalau seperti itu. Terutama terkait dengan menjaga independensi BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan. Ketika dia adalah seorang politisi aktif, atau politisi yang baru saja ikut pemilu, tapi kemudian ikut kompetisi pemilihan pimpinan BPK. Karena, nanti BPK ini akan memeriksa keuangan pemerintah, dimana di situ juga ada kementerian yang dipimpin oleh kader dari partai politik. Kemudian juga, keuangan DPR, dan lain-lain. Sehingga, potensi konflik kepentingannya memang tinggi sekali. 

Selama ini banyak pimpinan BPK yang merupakan politisi. Apakah mereka menunjukkan konflik kepentingan saat menjalankan tugas di BPK? 
Konflik kepentingan itu tak selalu terlihat jelas ya. Tapi yang pasti, dalam konteks menjaga BPK harus independen sebagai lembaga pemeriksa keuangan, hal itu harus dimulai dari menyeleksi siapa yang menjadi pimpinan BPK itu nantinya. Mungkin seperti yang tadi saya bilang, soal integritas para politisi ini mungkin memang bisa memenuhi syarat yang diperlukan. Tapi soal independensi ini kan sesuatu yang sulit untuk kita lihat. Kalau untuk pengelola keuangan negara saja, harus menunggu dua tahun untuk bisa ikut seleksi pimpinan BPK, kenapa politisi tidak diberikan jeda waktu. Harusnya untuk politisi juga ada jeda waktunya. Tapi, Anda tidak bisa menyatakan, terjadi konflik kepentingan ketika politisi jadi pimpinan BPK. 

Baca juga : Fajar Budiono : Ubah Paradigma Buang Jadi Jual Sampah

Apakah ini karena Anda antipati terhadap politisi? 
Kami bukan antipati terhadap politisi yang mau menduduki jabatan sebagai pimpinan BPK. Tetapi untuk BPK sebagai lembaga keuangan, sebagai lembaga yang harus kita jaga independensinya, baiknya ada masa jeda antara saat dia menjabat, dengan ketika dia mencalonkan diri menjadi pimpinan BPK. Paling tidak lima tahun. Kalau tidak bisa dilarang politisi menjadi pimpinan BPK, paling tidak ada jeda waktu, sehingga bisa diminimalisir potensi konflik kepentingannya. 

Jedanya kok lebih lama dari pada yang di bidang keuangan? 
Iya, karena gimana, ini politisi. Karena, sulit juga bagi kita untuk mengukur kapan relasi politik akan berhenti atau tidak. Ketika mereka tidak menjabat saja, masih bisa terus berhubungan melalui partai misalnya. Makanya, bahkan lima tahun itu juga belum tentu cukup sebetulnya. Tapi paling tidak, ada masa tunggu antara ketika dia menjabat dengan ketika dia mencalonkan diri sebagai pimpinan BPK. Sehingga, potensi konflik kepentingannya bisa diminimalisir. Karena seperti kita lihat, dari tahap seleksinya saja sudah rawan konflik kepentingan. Sebab, politisi yang mendaftar ini adalah anggota DPR yang tidak terpilih lagi, dan menyeleksi adalah anggota DPR itu sendiri 

Sebaiknya Undang-undang BPK direvisi? 
Iya, kami sangat sepakat untuk merevisi Undang-undang BPK, khususnya Pasal 13 tentang persyaratan. Di persyaratan misalnya, bisa ditambahkan soal adanya masa jeda sebelum mencalonkan diri di BPK. Lalu, Pasal 14 mengenai proses seleksinya, juga bisa diubah. Proses seleksi, jangan hanya dilakukan DPR dengan rekomendasi dari DPD saja, tapi ada tim seleksi independen. [NDA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.