Dark/Light Mode

`Perempuan Berkebaya` Peringati Hari Kartini

Tumbuhkan Cinta Kebaya Pada Anak Zaman Now

Rabu, 22 April 2020 21:05 WIB
(Searah jarum jam)  Deputi Bidang Budaya Kemenko PMK, Nyoman Suhida, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Ketua PBI Rahmi Hidayati dan dr Nirmala Chandra dalam diskusi online memeringati Hari Kartini. (Foto IST)
(Searah jarum jam) Deputi Bidang Budaya Kemenko PMK, Nyoman Suhida, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Ketua PBI Rahmi Hidayati dan dr Nirmala Chandra dalam diskusi online memeringati Hari Kartini. (Foto IST)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kebaya menjadi salah satu alat yang bisa memperkuat kembali ikatan kebangsaan di tengah arus globalisasi dan perlu ada diplomasi kebaya di tingkat internasional.

Hal ini mengemuka dalam diskusi online memperingati Hari Kartini bertema “Yuk Ajak Anak Muda Cinta Kebaya”. Acara diselenggaralan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) pada Selasa (21/4).

Sebagai narasumber Nyoman Shuida, Deputi Bidang Budaya Kemenko PMK, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Psikolog Sosial Ade Iva Wicaksono dan Dr Suciati dari ITB yang meneliti kebaya sebagai busana tradisional Indonesia. Diskusi secara online itu diikuti lebih 75 peserta dari berbagai daerah hingga ke Manila Philipina.

Mengawali diskusi, Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) Rahmi Hidayati menyitir salah satu surat Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang.

Menurut Rahmi, meski sekarang masih prihatin dan waspada dengan pandemi Covid-19, gerakan berkebaya tetap harus dilakukan agar kebaya kembali menjadi pakaian sehari-hari Perempuan Indonesia.

"Kalau anak-anak atau cucu kita tidak mencintai kebaya dan tidak dengan senang hati memakainya, maka ketika kita lenyap dari muka bumi, maka akan lenyap pula kebaya ini. Maka perlu cara agar generasi muda dengan senang hati mengenakan kebaya dan mewariskan pada generasi berikutnya,” ujar Rahmi. 

Baca juga : Perangi Corona, Korni Minta Pemerintah Perbanyak Pasokan APD

Selanjutnya, Nyoman Shuida mengapresiasi gerakan PBI yang konsisten menggaungkan gerakan berkebaya dan meminta agar tidak lelah mengkampanyekan kebaya menjadi busana sehari hari.

“Kita harus bisa menjadikan orang melihat kebaya adalah Indonesia. Indonesia adalah kebaya,” tukasnya. Kemenko PMK sudah menetapkan Selasa Berkebaya di lingkungan kementeriannya sejak tahun lalu.

Pada kesempatan itu, Hilmar Farid berbagi pandangan salah satu langkah agar anak zaman  now, mau mengenakan kebaya. "Kita perlu merelevankan kebaya dengan anak muda agar mereka cinta kebaya," katanya.

Caranya, kata Hilmar mempromosikan kebaya lewat jalur pendidikan. "Kebetulan ada siaran belajar dari rumah melalui TVRI. Beberapa kali ada pembahasan soal tekstil. Kita bisa selipkan soal kebaya," katanya.

"Penonton  TVRI itu 25 persen dari total penonton Indonesia," sambungnya.

Ia juga mengapresiasi gerakan Selasa Berkebaya yang bertujuan mempopulerkan kembali kebaya dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi sederet talkshow hingga fashion show untuk membagi inspirasi mengenakan kebaya agar bisa dipadupadankan dengan busana anak muda

Baca juga : Perkuat Bisnis, Pertamina Akan Rasionalisasi 25 Anak Usaha

Sedangkan untuk membuat gaung kebaya mendunia, menurutnya perlu ada diplomasi dengan menggandeng Kementerian luar negeri. Saat ini, kata Hilmar, banyak sekali duta besar perempuan. Jadi sangat efektif para dubes dalam bertugas selalu menggunakan kebaya.

Ia mencontohkan bagaimana dulu batik dipandang sebelah mata dan hanya menjadi pakaian sederhana. Namun ketika Ali Sadikin, Gubenrur DKI pada tahun 1970-an memakai batik sebagai kemeja lengan panjang, batik perlahan dan pasti mulai naik kelas.

“Saya sendiri dalam acara internasional selalu pakai batik lengan panjang bukan setelan jas. Selain praktis juga mengenalkan budaya Indonesia,” katanya.

Ahli Psikologi Sosial Ade Iva menambahkan, penciptaan momentum khusus juga perlu untuk meningkatkan kebanggaan anak muda pada kebaya. Ia mencontohkan Jepang yang berhasil membuat anak mudanya bangga berkimono sebagai bagian dari budaya nasional.

Di sana, kata Iva ada tradisi yang disebut Sejin Siki yang digelar untuk menandai seorang remaja memasuki usia dewasa. Saat itu, semua perempuan Jepang mengenakan kimono dengan bangga. Begitu pula dengan para lelakinya yang mengenakan yukata.

"Memang harus ada momen seperti itu supaya orang bangga pakai kebaya. Mendorong adanya pengakuan dan menjadi konsep diri," kata Iva lagi. 

Baca juga : Larang Penumpang Bersuhu Tinggi Naik Kereta, KAI Siap Kembalikan Penuh Biaya Pemesanan Tiket

Menurutnya kebanggaan itu tidak bisa ditumbuhkan hanya lewat kegiatan yang bersifat insidentil. Kebanggaan harus diinfiltrasi sejak dini, terutama pada tahap emerging adulthood, yakni usia 18-25 tahun.

"Ini belum dewasa, pradewasa. Mereka sangat produktif, mengagungkan kreativitas dan kebebasan, tapi butuh pengakuan. Jadi, lihat karakteristiknya seperti apa agar nyambung di sana," katanya.

Iva menambahkan, sepotong kebaya bisa menumbuhkan kembali nasionalisme dan cinta Indonesia. “Kebaya sebagai nilai yang dapat menyatukan kita yang kemudian menjadi identitas nasional.”

Lebih lanjut Iva mengatakan, kebaya  adalah materi kebudayaan yang harus direproduksi dan dikomunikasikan untuk menumbuhkan nasionalisme. "Untuk itu harus ada gerakan yang membuat orang bangga berkebaya," katanya.

Acara yang dipandu dr Nirmala Chandra ini semakin meriah saat menampilkan video fashion show anggota PBI, pembacaan surat Kartini dan Kartini di mata anak-anak usia sekolah dasar. 

Untuk memeriahkan acara, PBI menggelar door prize. Berupa kebaya hingga kain batik. [MEL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.