Dark/Light Mode

Keliru, Menggunakan Terminologi Islamofobia Di Indonesia

Sabtu, 12 Februari 2022 05:39 WIB
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi (Foto: Istimewa)
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Mujtaba melihat, ada permainan psikologis yang dimainkan kelompok radikal sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat. "Pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, islamofobia ini adalah defense mechanism mereka ketika mereka dikritik atas perbuatannya,” tuturnya.

Ia menjelaskan, pola pergerakan kelompok radikal adalah dengan menciptakan ketidak harmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Puncaknya adalah dengan menganggap siapa pun yang tidak membela dan mengkritik adalah Islamopobia.

Baca juga : Mulai 19 Februari, Musikal Anak Murid Terbaik Tayang Di IndiHome

”Padahal, di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik islamofobia. Muslim sebagai mayoritas justru sangat difasilitasi oleh negara,” ujarnya.

Selama ini, ungkapnya, Pemerintah dengan segala sumber daya yang ada sangat memfasilitasi baik Muslim maupun seluruh penganut agama yang lain untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. “Bagaimana islamofobia kalau Pemerintah banyak memfasilitasi umat Islam, dari mulai urusan haji, memberi pendanaan untuk tempat ibadah, bahkan pendidikan juga difasilitasi, dan lain sebagainya” tuturnya.

Baca juga : Prof UIN Sunan Kalijaga: Islamofobia Upaya Framing Pojokkan Pemerintah

Jebolan Pasca Sarjana Antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (Fisip UI) menilai, perlu adanya startegi yang konkret dan efektif untuk memberantas oknum-oknum yang kerap menyalah artikan istilah islamofobia untuk membuat kericuhan di tengah masyarakat. “Perlu edukasi publik untuk memperlihatkan sesungguhnya seperti apa gejala yang merujuk pada Islamophobia, agar tidak digunakan diluar konteksnya,” jelasnya.

Di level konkret, ia menuturkan perlu adanya tindakan serius dari Pemerintah bagi mereka yang menyebarkan ajaran kebencian tadi di lokasi peribadatan atas nama agama, mengajarkan untuk membenci yang berbeda bahkan pada titik tertentu membenci pemerintah yang sah. Pertama, soft approach yaitu menandingi narasi mereka dengan ajaran yang toleran, moderat, perdamaian sebagai inti dari ajaran islam. Selain itu juga perlu ajaran yang mencerminkan perdamaian.

Baca juga : BRI Dinobatkan Jadi Bank Paling Bernilai Di Indonesia

Kedua, tindakan hard approach perlu dilakukan ketika seseorang melanggar hukum. Rule of Law harus dijalankan. “Apalagi kalau sudah pelanggaran hukum menginfiltrasi kekerasan, memancing orang untuk melakukan kebencian terhadap yang berbeda,” ujarnya.

Terakhir, Mujtaba bersama dengan Wahid Foundation masih konsisten untuk terus mengawal penyebaran Islam yang damai, melalui dari berbagai lini dalam rangka mewarnai ruang digital dengan narasi dan konten positif untuk meng-counter narasi intoleransi. “Kita terus konsisten dalam menyebarkan Islam yang damai melalui berbagai lini, mulai dari masuk langsung ke desa, sekolah, hingga ke ranah digital, bekerja sama dengan semua pihak, kita warnai ruang digital kita dengan narasi positif,” jelasnya. [WUR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.