Dark/Light Mode

Maqdir Ismail: Penerapan Pidana Kasus Korupsi Harus Bijak

Selasa, 31 Oktober 2023 18:59 WIB
Maqdir Ismail (Foto: M Wahyudin/RM)
Maqdir Ismail (Foto: M Wahyudin/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pengacara Maqdir Ismail mengkritisi penerapan proses hukum pidana oleh lembaga-lembaga hukum di Tanah Air dalam pemberantasan perkara korupsi.

Menurutnya, penerapan hukum pidana dalam kasus rasuah, harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana.

"Terutama terhadap proyek-proyek pemerintah yang diduga bermasalah, tapi pekerjaannya masih belum selesai," ujarnya, di Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Pria asal Baturaja, Sumatera Selatan ini berpendapat, sudah saatnya Indonesia mulai mengkaji ulang terhadap cara pemberantasan korupsi, khususnya terhadap pekerjaan atau proyek pemerintah yang belum rampung.

Jika ada dugaan penyimpangan dalam proyek pemerintah, menurutnya, sebaiknya penyelesaiannya lebih dulu menggunakan hukum administrasi dan perdata.

Baca juga : Pakar Sarankan Kasus Korupsi Didahulukan Ketimbang Soal Pemerasan

"Hal ini mengingat hukum pidana merupakan ultimum remedium, yaitu hukum yang digunakan sebagai upaya terakhir jika tidak ada cara lain untuk menyelesaikan suatu perkara," sambungnya.

Pendapat mantan aktivis Petisi 50 ini usai melihat fakta-fakta persidangan perkara dugaan korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G pada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Dalam perkara yang juga menyeret mantan Menkominfo Johnny Gerard Plate, dirinya bertindak sebagai pengacara salah satu terdakwa.

Dari total 13 tersangka, enam di antaranya telah diajukan ke persidangan sebagai terdakwa oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kejagung mendakwa berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang menyebutkan ada kerugian negara Rp 8,03 triliun.

Baca juga : Bos Moratelindo Galumbang Menak Jalani Sidang Tuntutan Korupsi BTS

BPKP dan Kejaksaan mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun, yakni sebanyak 3.242 BTS terhitung pada 31 Maret 2022, yang kemudian dianggap mangkrak.

"Padahal, dari fakta-fakta persidangan terungkap bahwa sebanyak 3.242 BTS itu, sebagian telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif. Sebagian dalam proses pembangunan, dan yang belum dibangun tetap bisa dinilai asetnya," imbuhnya.

Ia menambahkan, penentuan cut-off date 31 Maret 2022 juga tidak sesuai dengan fakta hukum, karena pekerjaan penyelesaian pembangunan BTS 4G terus berlanjut dan sampai Oktober 2023 telah selesai hampir 100 persen.

Menurutnya, perhitungan yang tanpa memperhitungkan peristiwa yang terjadi setelah periode tersebut, termasuk perpanjangan kontrak dan pengembalian uang Rp 1,7 triliun oleh konsorsium, sebagai kekeliruan.

"Jadi, keliru kalau BPKP melakukan perhitungan secara total loss, karena proyek masih berajalan dan ada pengembalian uang ke kas negara," tuturnya.

Baca juga : Jaksa Ungkap Oknum BPK Penerima Duit Korupsi BTS Rp 40 Miliar Berinisial AQ

Sebelumnya, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai, kerugian negara belum bisa disimpulkan terhadap sebuah pekerjaan yang belum selesai.

Alasannya, kata dia, dalam perspektif hukum pidana, sebuah kerugian merupakan sebuah akibat yang sifatnya nyata dan pasti, dan tidak bisa hanya berupa potensi kerugian.

Pernyataannya ini ia ungkapan saat hadir sebagai saksi ahli dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G tersebut, pekan kemarin.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.