Dark/Light Mode

Soal Pelibatan TNI Dalam Kontra Terorisme

Tak Ada Tugas TNI Yang Dilaksanakan Otomatis

Sabtu, 14 November 2020 14:42 WIB
Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo [Foto: lemhannas.go.id]
Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo [Foto: lemhannas.go.id]

 Sebelumnya 
Sedangkan Analis Strategi dan Keamanan Universitas Andalas, Zulkifli Harza, menjelaskan adanya kompleksitas aturan soal perbantuan TNI dalam kontra terorisme. Karena, UU 34/2004 tentang TNI, menganut azas hukum humaniter. Sedangkan UU 5/2018 tentang tindak pidana terorisme, menganut azas hukum pidana.

Meski pendekatan kontraterorisme pada umumnya menganut azas penegakan hukum, ujarnya, termasuk di negara-negara lain, perbantuan militer tetap diperlukan dalam situasi di mana penegakan hukum tidak bisa efektif.

Perbantuan tersebut, lanjut Zulkifli, harus dilakukan melalui kerangka aturan yang jelas. Sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih peran. Dia menilai, pelibatan militer dalam kontra terorisme di Indonesia rawan potensi pelanggaran HAM.

Baca juga : Menag: Terorisme Tak Dibenarkan Atas Alasan Apapun

Meski demikian, ujar Zulkifli, pelibatan militer kadang diperlukan, karena keterbatasan kemampuan kepolisian dalam situasi tertentu, seperti kasus di Poso antara 1998 hingga 2000 lalu.

“Diperlukan mekanisme pelibatan dan koordinasi yang baik untuk mengatasi permasalahan tersebut,” dia mengingatkan.

Sementara Peneliti HAM dan Keamanan, Setara Institute for Democracy and Peace, Ikhsan Yosarie menegaskan, bahwa fungsi penangkalan seperti yang tertera pada pasal 2 rancangan Perpres, pelibatan TNI dalam kontra terorisme tidak pernah dikenal. Karena pasal 43 UU5/2018 menggunakan istilah pencegahan yang merupakan bagian dari tugas BNPT.

Baca juga : Polisi Belum Terima Pencabutan Laporan Penganiayaan Yang Dilakukan Bahar

Menurut Ikhsan, fungsi pencegahan dan pemulihan sebaiknya dikerjakan oleh badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti BNPT, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya.

Rancangan Perpres ini menurutnya juga menghilangkan kontrol DPR atas pengerahan TNI dalam kontra terorisme. Karena menyebutkan, pengerahan kekuatan TNI hanya didasari oleh instruksi oleh Panglima TNI berdasarkan perintah presiden. Padahal, UU 34/2004 menegaskan, pelaksanaan operasi militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, berupa keputusan presiden dengan persetujuan DPR.

Selain itu, lanjut Ikhsan, rancangan Perpres ini juga tidak menyebutkan mengenai eskalasi ancaman. Sehingga menjadi tidak jelas, kapan tepatnya perbantuan TNI diperlukan.

Baca juga : OMSP TNI dalam Penanggulangan Terorisme Sudah Tepat

Ikhsan juga menyoroti pasal 14 dari rancangan Perpres yang menyebutkan, sumber anggaran perbantuan TNI dapat berasal dari sumber-sumber di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini, tegasnya, jelas-jelas bertentangan dengan pasal 66 dan 67 UU 34/2004 yang menegaskan, bahwa pendanaan TNI hanya dapat berasal dari APBN. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.