Dark/Light Mode

Pakar Komunikasi Politik, Lely Arrianie

Geger Budaya Politik & UU ITE

Minggu, 28 Februari 2021 19:20 WIB
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (Foto: Istimewa)
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Indeks Demokrasi Indonesia 2020 berdasarkan laporan The Economist Intelligence (EIU) merosot. Dari 6,48 ke 6,3, terendah selama 14 tahun terakhir. Indonesia menempati peringkat ke 64 dari 167 negara.

EIU juga menempatkan Indonesia dalam kategori demokrasi cacat, meski bukan otoriter. Realitas ini menyebabkan tuntutan perubahan UU ITE terus didengungkan.

Atas nama kebebasan dan demokrasi, The Economist Intelligence Unit (EIU) memberi skor cukup tinggi (7,50 persen) untuk fungsi dan kerja pemerintah. Namun, Presiden Jokowi atas nama kebebasan dan demokrasi, malah tetap meminta agar pers dan masyarakat tetap memberikan kritik kepada pemerintah, termasuk fungsi pelayanan publik.

Baca juga : Razia Kerumunan, Polisi Amankan 2 Orang Positif Covid

Bersandar pada Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, “para pengkritik” menjadikan ini sebagai senjata untuk mengubah UU ITE.

Tetapi, membaca skor EIU tentang budaya politik Indonesia, ternyata masih sangat rendah (4,38). Maka, seharusnya disadari, budaya politik bukanlah semata-mata karena peran pemerintah. Sebab, EIU memberi skor tinggi pada fungsi dan kinerja pemerintah.

Mengapa skor budaya politik Indonesia rendah? Ini berarti, ada konsep budaya politik yang salah, yang diikuti masyarakat. Sehingga, apa korelasinya dengan wacana perubahan UU ITE terutama pasal 27 ayat 3 yang diributkan itu?

Baca juga : Komunikasi Politik Polri Harus Baik

Pasal 27 ayat 3 UU No 19 tahun 2016 yang sering dianggap sebagai pasal karet itu bunyinya: Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencermaran nama baik.

Pasal ini dianggap merugikan orang atau kelompok yang mengkritik pemerintah dan/atau kelompok atau pribadi. Padahal, sekaligus pasal ini juga melindungi “pengkritik” dari serangan kelompok lain yang berpotensi menghina dan mencemarkan nama baiknya.

Andai peristiwa hukum yang dialami “terlapor” dibalik menjadi “pelapor”, terlepas dari kelompok manapun, bukankah itu berarti menempatkan dia dalam posisi yang diuntungkan oleh pasal itu? Artinya, tidak ada yang salah pada pasalnya.

Baca juga : Teknologi Informasi dan Komunikasi, Agar Generasi Muda Menjadi Produktif

Dalam hal ini “budaya politik” pengkritik atau yang dikritiklah yang rendah. Mengkritik, fitnah dan caci maki memang menyebabkan potensi pelanggaran UU ITE. Siapa pun pelakunya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.