Dark/Light Mode

Pakar Komunikasi Politik, Lely Arrianie

Geger Budaya Politik & UU ITE

Minggu, 28 Februari 2021 19:20 WIB
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (Foto: Istimewa)
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Apa yang salah pada Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu?

Masyarakat dan individu saat ini seolah diberi ruang untuk saling melapor akibat postingan dan perang opini di media sosial.

Berbagai diksi, narasi sejumlah warganet makin menunjukkan ketiadaan etika. Bahkan, banyak penggunaan simbol dan lambang, termasuk komentar dan respon, yang isinya dahsyat mengerikan.

Baca juga : Razia Kerumunan, Polisi Amankan 2 Orang Positif Covid

Ini semua memantik isu adanya buzzer, yang berkeliaran secara genit dan nakal, seolah dikelola pemerintah. Padahal, boleh jadi mereka sekedar mewakili kelompok yang posisi, dan afiliasi politiknya berseberangan dengan pengkritik.

Pembelahan ini terjadi pasca dimainkannya politik identitas sejak Pilpres 2014, dilanjutkan Pilkada DKI Jakarta 2017, lalu terulang lagi di Pilpres 2019, sampai sekarang. Dan nampaknya, akan terus ada sampai pesta politik 2024.

Para pelakunya tak akan pernah menempatkan diri dalam politik emansipatoris. Karena pemihakan menuntut cohesiveness, untuk menjaga kepentingan kelompoknya tetap eksis, meski tidak dibayar.

Baca juga : Komunikasi Politik Polri Harus Baik

Karenanya, atas nama demokrasi, para pengkritik, pemfitnah, pencaci dan pemaki, akan berada dalam posisi sulit jika UU ITE tetap diberlakukan. Apalagi, jika yang disebut pasal karet dalam undang-undang itu tidak diubah.

Semiotik dan Hipersemiotik

Kritik semiotik atau semeino adalah ilmu yang mempelajari makna tersembunyi di balik teks, iklan dan berita, dalam sederetan luas objek, peristiwa dan kebudayaan. Sementara hipersemiotik (hypersemiotick) bermakna sebagai titik kecenderungan untuk berdusta, termasuk umberto eco, disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta.

Baca juga : Teknologi Informasi dan Komunikasi, Agar Generasi Muda Menjadi Produktif

Selalu ada tanda dusta atau kebohongan dalam perang opini. Baik dari sisi pengkritik, pemfitnah, pencaci, pemaki maupun dari sisi sebaliknya. Posisi keduanya bisa dibolak balik.

Dari pihak pengkritik, dia bisa menjadi yang dikritik dan sebaliknya. Titik kecenderungan untuk berdusta dalam kritik, menempatkan pelakunya tidak jujur mengkritik. Penerimanya pun demikian. Egosentris kelompok yang terbelah akibat afiliasi politik ini, menempatkan pelaku dan penerima kritik, sama-sama membabi buta menumpahkan syahwat kebencian, fitnah dan caci maki.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.