Dark/Light Mode

Tragedi Di Makassar, SOS!

Minggu, 15 Januari 2023 06:29 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Ini sudah di luar nalar. Kejadiannya di Makassar, Sulsel. Dua orang anak, usia 14 dan 17 tahun menculik dan membunuh seorang anak usia 11 tahun. 

Motifnya ngeri: ginjal si korban diambil untuk dijual. Hasil penjualannya digunakan untuk membantu kakaknya membeli laptop, juga untuk membangun rumah.

Ketika melakukan aksi keji itu, si pelaku bingung, tidak tahu dimana posisi ginjal. “Gilanya” lagi, setelah membunuh, situs jual beli organ tubuh tempat mereka ingin menjual ginjal korban, sudah raib. Tidak bisa ditemukan. 

Dalam keadaan bingung, mereka akhirnya membuang jenazah korban di sekitar waduk. Tragis. Seorang anak menjadi korban. Dia pergi akibat tindakan amoral yang sangat sulit diterima.

Baca juga : Lukas Enembe Dibawa Ke Markas KPK!

Speechless. Bengis. Tapi ini nyata. Psikolog pasti lebih tahu, apa yang terjadi terhadap para pelaku ini, sehingga tega dan mudah sekali berbuat keji seperti ini. 

Mestinya ini menjadi perhatian nasional. Bukan hanya ranah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Karena, bisa jadi, ini hanya puncak gunung es dari persoalan yang dihadapi negeri ini: pendidikan, moral, sosial, ekonomi, pengamanan siber dan lalu lintas dunia maya.

Apakah juga ada unsur imitasi, peniruan, karena tayangan dan dan konten-konten kekerasan yang sekarang sangat mudah diakses. Game-game kekerasan yang berseliweran di jagat maya apakah bisa jadi salah satu pemicunya?

Kalau lebih melebar, kita juga bisa bertanya, apakah anak-anak ini mencontoh generasi yang lebih tua? Entah itu di lingkungan terdekat atau di lingkup yang lebih luas. 

Baca juga : Nora Alexandra, Dicaci Maki Fans Suami

Misalnya, ambil satu contoh: koruptor yang “sangat biasa” melakukan aksinya. Mereka juga masih bisa ketawa-ketiwi seolah tanpa dosa walau sudah mengambil hak rakyat. Apakah ini menjadi “pola” yang bisa menjangkiti siapa saja, termasuk anak-anak?

Seorang penulis politik Amerika Serikat, Hannah Arendt, di era 60-an, ketika meliput pengadilan seorang penjahat perang NAZI, mempopularkan istilah “banalitas kejahatan”. 

Dalam salah satu kesimpulannya, Arendt menyebut bahwa Eichmann, si penjahat perang itu, menganggap tindakannya “wajar”, banal, sangat biasa, pola pikirnya dangkal serta nuraninya tumpul tak berempati. Dia menganggap biasa pembunuhan yang dilakukannya.

Apakah pelaku pembunuhan di Makassar ini telah terjangkit sikap “menganggap wajar” kejahatan yang dilakukannya?

Baca juga : Tenang, Maguire Diajak Kok Ke Qatar!

Tes psikologi akan menentukan bagaimana status kejiwaan dua pelaku. Dari pengakuan awal si pelaku kepada polisi, mereka melakukan aksi jahat ini setelah menonton program penjualan organ tubuh di salah satu stasiun TV nasional.

Kita tidak tahu, apakah di tayangan tersebut ada “content warning” mengenai aksi kekerasan seperti warning yang biasa ditampilkan di film-film. 

Saat diwawancara, seorang pelaku dengan tampang wajar, mengungkap motifnya. Dia mengaku, uang hasil penjualan ginjal korban akan digunakan untuk membeli laptop untuk kakaknya serta untuk biaya membangun rumah.

Kalau tragedi ini menjadi puncak gunung es, selayaknya bangsa ini membunyikan alarm dan berseru: SOS.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.