Dark/Light Mode

Jangan Biarkan Jendela Pecah

Selasa, 6 Februari 2024 05:56 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Kalau pelanggaran etika dianggap sebagai “kewajaran”, maka batas-batas lainnya bisa diterobos dengan mudah. Bangsa ini bisa terlilit anarki hukum dan norma. Ini berbahaya. Apa lagi kalau sudah terkena “teori jendela pecah”.

Pelanggaran etik terbaru dilakukan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari beserta enam anggota KPU lainnya. Ini merupakan pelanggaran etik ketiga kalinya yang menimpa Ketua KPU.

Vonis pelanggaran etik kepala KPU tersebut dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dirilis kemarin.

Dalam putusannya DKPP menilai ketua dan anggota KPU dinyatakan melanggar etik karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023. Padahal, saat itu, peraturan KPU masih mewajibkan capres/cawapres harus berusia minimal 40 tahun. Sedangkan Gibran masih 36 tahun.

Baca juga : Politik Rem Dan Kaca Spion

Putusan pelanggaran etik yang divoniskan kepada KPU, menurut DKPP, tak berpengaruh terhadap sah tidaknya pencalonan Gibran sebagai Cawapresnya Prabowo. Gibran boleh jalan terus.

Lepas dari itu, ada pertanyaan penting: mengapa orang-orang yang menempati posisi strategis, yang seharusnya menjadi panutan, justru dengan mudah tersangkut pelanggaran etik?

Sebelumnya, vonis pelanggaran etik juga dijatuhkan kepada Ketua KPK Firli Bahuri dan Komisioner KPK Lili Pintauli. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), juga pernah dikenai sanksi pelanggaran etik.

Ini persoalan serius. Apalagi kalau pelanggaran etik tersebut tidak disertai efek jera yang bisa menjadi pelajaran penting bagi pejabat lainnya.

Baca juga : Tafsir-tafsir Menteri Mundur 

Kalau sanksi pelanggaran etik menjadi “macan ompong” maka akan timbul “banalitas kejahatan”. Akan terjadi “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jangan salahkan rakyat kalau misalnya aksi melawan arus di jalan raya jadi semacam “kewajaran”.

Fenomena ini juga bisa dilihat dari sisi teori “jendela pecah” yang menggambarkan mudahnya penularan pelanggaran etik oleh para pejabat.

Teori ini menyatakan, “kalau kejahatan serta ketidakteraturan kecil-kecilan dibiarkan, maka akan terjadi kewajaran yang menimbulkan kejahatan yang lebih besar”.

Penelitiannya: satu jendela pecah di sebuah perumahan yang terbengkalai, dalam waktu singkat akan mengundang orang-orang untuk masuk ke rumah tersebut. Orangorang yang melihat jendela pecah itu, juga dengan mudah ikut memecahkan kaca-kaca jendela lainnya.

Baca juga : Rakyat Bukan Objek Perjudian Politik

Tanpa sanksi. Tanpa rasa bersalah. Sebaliknya, kalau jendela pecah tersebut segera diperbaiki, maka orang akan segan untuk melakukan van dalisme atau ikut ikutan memecahkan jendela lainnya.

Apakah fenomena “jendela pecah” sudah menjangkiti bangsa ini? Kalau sudah, perlu segera dihentikan. Karena, “sedikit demi sedikit, lamalama jadi bukit”.

Dampaknya, pelanggaran etik krusial yang bisa membelokkan kehidupan berbangsa dan bernegara pun, bisa di anggap wajar dan biasa-biasa saja. Menjalar dari atas sampai ke bawah, secara berjamaah, lalu dianggap sebagai “norma” baru.

Di sinilah pentingnya keteladanan dan ketegasan dalam penegakan hukum. Jangan biarkan jendela bangsa ini pecah, karena bisa menggerogoti pilar, kusen serta pintu-pintu rumah bangsa. Kalau itu terjadi, sulit memperbaikinya kembali.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.