Dark/Light Mode

Epidemiolog Universitas Airlangga Alumni Kobe University, Jepang, Laura Navika Yamani, PhD

Jika Ekonomi Mau Jalan, Harus Disiplin

Senin, 17 Agustus 2020 13:39 WIB
Laura Navika Yamani, PhD
Laura Navika Yamani, PhD

RM.id  Rakyat Merdeka - Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta diperpanjang lagi selama dua peka, terhitung mulai 14 Agustus hingga 27 Agustus 2020.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan, keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan segala kondisi.

PSBB transisi awalnya diberlakukan 5 Juni hingga 2 Juli 2020. Kemudian, Pemprov DKI memutuskan memperpanjangnya selama 14 hari hingga 16 Juli. Perpanjangan PSBB transisi dilakukan setelah Pemprov DKI melihat skor indikator pelonggaran.

PSBB transisi diperpanjang lagi sebanyak dua kali. Masing-masing selama dua pekan, terhitung mulai 17 Juli sampai 30 Juli 2020 dan mulai 31 Juli hingga 13 Agustus. Setelah beberapa kali melewati perpanjangan PSBB transisi, angka penyebaran Covid-19 di Jakarta masih relatif tinggi. Bahkan, dalam sepekan terakhir, positivity rate Covid-19 berada di angka 8,7 persen.

Angka tersebut merupakan angka tertinggi selama pandemi Covid-19. Anies mengatakan, angka positivity akumulatif DKI adalah 5,7 persen, di mana angka tersebut masih sesuai standar aman dari WHO. Adapun standar positivity rate dari WHO untuk dinyatakan aman dan terkendali adalah 5 persen.

Dengan masih tingginya angka penyebaran Covid-19, banyak warga yang mulai mempertanyakan penerapan PSBB transisi. PSBB transisi pun dinilai tidak berdampak positif terhadap tingkat penyebaran Covid-19. Akibatnya, ada beberapa pihak yang mengusulkan agar kembali ke masa PSBB.

Lantas, bagaimana pandangan pihak pengusaha mengenai usulan ini? Bagaimana pula pandangan pakar epidemiologi terhadap usulan ini? Perlukah dikembalikan ke PSBB lagi, mengingat angka penyebaran Covid-19 tak kunjung turun? Berikut wawancara dengan Epidemiolog Universitas Airlangga Alumni Kobe University, Jepang, Laura Navika Yamani, PhD:

Bagaimana pandangan Anda mengenai PSBB transisi?

Jakarta kembali memperpanjang selama dua minggu ya. Tidak masalah sebetulnya PSBB transisi diperpanjang. Tapi, ini sudah empat kali. Sehingga, apa yang disebut PSBB transisi harus betul-betul dievaluasi. Apakah PSBB transisi itu bermakna. Jangan sampai PSBB transisi sama dengan pelonggaran PSBB.

Baca juga : Jika Terapkan PSBB Awal, Ekonomi Minus 10 Persen

PSBB transisi itu semestinya bagaimana?

PSBB transisi itu ada beberapa tahap, dimana hanya beberapa sektor perekonomian yang dibuka. Tidak secara serentak semuanya dibuka. Jadi yang harus diperhatikan itu, apa makna PSBB transisi ini dibandingkan dengan pelonggaran PSBB.

Apakah perlu kembali ke PSBB, mengingat tingkat penyebaran Covid-19 masih tinggi?

Itu relatif, karena kalau dilihat angkanya ini dinamis. Kadang ada kenaikan, kadang ada penurunan. Melihat data dari Jakarta, angka positivity ratenya sekitar lima persen. Bisa dikatakan aman menurut standarnya WHO. Tapi yang lebih aman itu, ketika berada di bawah lima persen. Harus dilihat juga, apakah kapasitas pemeriksaannya sudah bisa diandalkan.

Kalau dikembalikan ke PSBB, saya kira tidak mungkin. Karena, saat ini keterpurukan ekonomi masih dirasakan masyarakat. Kalau PSBB kembali, dimana masyarakat akan stay at home, maka pekerja informal akan menjadi korban, karena tidak mungkin melakukan itu.

Tidak mungkin sama sekali?

Kecuali kalau pemerintah mau memberikan subsidi, mau bertanggung jawab memberikan bantuan jika memang semua diharuskan di rumah.

Pada kenyataannya, pemerintah tidak bisa melakukan itu. Makanya dituntut untuk beriringan, dimana di satu sisi perekonomian bisa berjalan, di sisi lain masyarakat juga aman. Sekarang, tinggal bagaimana caranya supaya penyebaran ini bisa menurun, sambil melakukan kegiatan ekonomi yang dibatasi.

Berarti, tak mungkin kembali menerapkan PSBB karena faktor ekonomi?

Baca juga : Gibran Ikut Daftar Dari Tingkat Ranting

Iya, menurut saya begitu. Menurut perhitungan, perekonomian sudah collaps. Artinya, Indonesia sudah tidak mungkin melakukan itu. Yang bisa dilakukan adalah, bagaimana mengendalikan penyebaran.

Kata Pak Anies, Jakarta akan bekerja sama dengan Korea Selatan untuk bisa melacak orang-orang yang tanpa gejala. Korea Selatan katanya punya aplikasi untuk mendeteksi orang-orang, yang sebetulnya terinfeksi virus. Kalau tidak salah, mereka akan disaring dari hasil kontak tracing, meskipun tidak ada gejala. Itu salah satu yang bisa dilakukan.

Apa saran Anda?

Dari sisi masyarakat, harus lebih disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Itu kalau mau aktivitas perekonomian tetap hidup. Karena, yang rugi tetap masyarakat. Iya kalau negara bisa hadir membantu masyarakat. Tapi kalau sama seperti kemarin, itu akan merugikan masyarakat. Sehingga, masyarakat harus sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas perekonomian. Jadi, masyarakat harus disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan. Pemerintah juga harus hadir.

Anda minta agar PSBB transisi dievaluasi. Apa yang kurang dalam penerapan PSBB transisi?

Transisi bukan berarti mengaktifkan kembali semua sektor perekonomian. Ada prioritas, mana yang harus didahulukan, mana yang belum terlalu perlu. Tujuan transisi untuk menggerakkan perekonomian, sekaligus mengurangi penyebaran virus. Jadi, tidak bisa dibuka semua. Harus betul-betul dilihat, apakah maksud PSBB transisi sudah sesuai penerapannya. Jangan ketika PSBB transisi diterapkan, seolah-olah semuanya sudah bisa dibuka. Harus dievaluasi, dari kasus corona, yang banyak dimana. Kalau di tempat yang banyak kasus, rem saja di situ, tutup sementara.

Contohnya?

Di Jakarta ada klaster perkantoran. Itu harus dievaluasi, petakan perkantoran yang banyak kasus itu dimana saja. Setelah diketahui, harus ditutup secara tegas. Karena, penyebaran ini cepat. Penyebarannya itu sifatnya longitudinal, bukan linier.

Maksudnya?

Baca juga : TNI Bikin Masyarakat Jadi Lebih Berdisiplin

Ketika ada satu kasus, kemudian menyebar di perkantoran, jangan kantor saja yang dianggap berisiko. Ketika pegawai ini kembali ke lingkungannya, itu juga ada risiko. Dia bisa saja menyebakan klaster-klaster lain, kalau tidak segera ditangani.

Apa saran Anda untuk pemerintah?

Pemerintah harus lebih aktif dalam melakukan monitoring. Karena, ini sudah di atas 100 ribu kasus, dikurangi dengan orang yang sembuh dan orang yang meninggal. Harus betul-betul dicari tahu, apakah yang positif ini betul mengisolasi diri. Jangan sampai kecolongan, orang-orang yang positif ini malah berkeliaran secara bebas. Melacaknya pun harus lebih agresif.

Menurut WHO, dari satu kasus, harus ada 30 orang di sekitar dia yang ditemukan. Kendalanya, orang menolak dites. Atau, melarikan diri sampai ke luar daerah. Nah, yang seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Masyarakat juga harus sadar diri. Ketika terjaring melalui kontak tracing, dia harus mau bekerja sama.

Bagaimana Anda melihat apa yang sudah dilakukan DKI?

Melihat data, Jakarta menyumbang 40 persen pemeriksaan secara nasional. Artinya, pemeriksaannya sudah bagus. Melihat positivity ratenya, lima persen. Itu juga bagus, karena sudah menyebar ke berbagai komunitas. Tinggal lebih agresif lagi, dengan harapan orang-orang yang tanpa gejala ini bisa lebih sadar diri, dan melakukan isolasi.

Karena, kalau tidak ditunjukkan hasil pemeriksaan ini, kadang warga mengabaikan. Merasa dirinya baik-baik saja, sehingga beraktivitas, berinteraksi dengan banyak orang. Dengan begitu, akan menyebarkan virus kepada orang lain. NDA

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.