Dark/Light Mode

Catatan Perlindungan Konsumen 2018 (Bagian I)

Ekonomi Digital & Marginalisasi Hak Konsumen

Kamis, 20 Desember 2018 14:34 WIB
Catatan Perlindungan Konsumen 2018 (Bagian I) Ekonomi Digital & Marginalisasi Hak Konsumen

RM.id  Rakyat Merdeka - Pada 2019, fenomena ekonomi digital makin terasa. Menembus ruang dan waktu. Hampir semua sisi ekonomi mikro tersentuh ekonomi digital ini. Konsumen pun sebagai pengguna akhir ekonomi digital, dengan berbagai turunannya, makin gandrung dibuatnya. Harus diakui, kehadiran dan eksistensi ekonomi digital makin membuat aktivitas konsumen makin mudah, murah, efisien dan ekonomis. Oleh karena itulah, ekonomi digital telah memberikan kontribusi ekonomi makro secara signifikan.

Diprediksi, pada 2025, kontribusi ekonomi digital terhadap PDB (Produk Domestik Brutto) akan mencapai Rp 730 triliun.  Menurut Google Temasek Economy SEA, Indonesia menjadi negara tercepat dan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara. Fenomena ekonomi digital, yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi, adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari. Dan mempunyai lompatan positif untuk peradaban manusia secara keseluruhan. Pada sisi mikro, fenomena ekonomi digital ini membuat aktivitas kehidupan manusia semakin mudah, murah, dan cepat. 

Namun, ironisnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini. Dalam aktivitas keseharian, kegiatan ekonomi digital dapat berupa transaksi belanja online/e-commerce, transportasi online, dan finansial teknologi (fintech), berupa pinjaman online. 

Dalam tataran ini, masih terjadi berbagai paradoks. Pertama, masih rendahnya literasi digital konsumen. Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen. Yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan. Juga prinsip kehati-hatian konsumen terhadap data pribadi. Baik itu alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, foto pribadi, ataupun video. Sejauh ini, konsumen masih kurang berhati-hati terhadap perlindungan data pribadi.

Baca juga : Pengusaha Diusulkan Pake Teknologi Digital Capability Center

Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang pada akhirnya akan merugikan konsumen. Terbukti, berdasarkan data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan terkait ekonomi digital menduduki ranking pertama selama 3 (tiga) tahun terakhir. Angkanya ada di kisaran 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce, dan atau pinjaman online. 

Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Meningkatnya nilai transaksi, tidak diiringi pengawasan pemerintah. Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap. Baik dalam hal membuat regulasi, pengawasan dan atau menerapkan sanksinya. Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72. Tapi, yang beroperasi di lapangan, mencapai lebih dari 350-an. Kenapa dibiarkan? Padahal mereka ilegal.

Dalam hal ini, OJK mestinya bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih gentayangan. Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerce. Transaksi antara konsumen dengan pedagang, berjalan tanpa pengawasan regulator. Padahal, potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar. Terbukti, menurut data, 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias terjebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman. 

Ketiga, masih lemahnya regulasi. Aneh bin ajaib,  sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! Padahal transaksi e-commerce saat Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), angka pertumbuhannya melompat sampai dua digit! Jika Harbolnas 2012 angkanya hanya mencapai Rp 67,5 miliar; maka pada 2017 melambung menjadi Rp 4,7 triliun. 

Baca juga : Freeport Kembali Ke RI Tinggal Hitungan Hari

Hanya sektor transportasi online dan finansial teknologi (fintech) yang regulasinya lumayan bagus, walau dalam pengawasan masih kedodoran, alias memble. Terbukti, pelanggaran hak konsumen taksi online, dan juga ojek lain, masih sangat masif. Berdasarkan survei YLKI (September 2016), 45 persen konsumen transportasi online pernah dikecewakan. Bahkan kini terbukti, transportasi online tidak senyaman dan tidak seaman yang dibayangkan sebelumnya. Berbagai kriminalitas, termasuk pembunuhan, beberapa kali terjadi di angkutan online. Dan korban utamanya adalah konsumen. Di sisi yang lain, driver angkutan juga hanya menjadi korban eksploitasi para kapitalis yang bercokol di angkutan online

Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor finansial teknologi, dengan Peer to Peer Landing, alias pinjaman online. Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyamanan saja. Tetapi juga sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen. Dengan beberapa konfigurasi persoalan tersebut, maka seharusnya ada upaya sistematis dan komprehensif untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, sebagai pengguna produk digital ekonomi. 

Pemerintah dan pelaku usaha punya tanggung jawab untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, melalui edukasi masif. Tanpa adanya peningkatan literasi digital masyarakat, maka potensi masyarakat menjadi korban akan semakin besar. Baik karena ada penyalahgunaan data pribadi, dan atau korban material lain yang dialami konsumen. Misalnya saja, penipuan dan atau korban dari sisi pelayanan. 

Berikutnya, mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sungguh ironis manakala masyarakat sangat antusias bertransaksi elektronik, yang artinya begitu besar potensi ekonominya, tetapi tidak ada regulasi yang memayungi konsumen. Khususnya, untuk perlindungan konsumen. Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak-hak konsumen kian besar dan lebar, salah satunya pelanggaran penyalahgunaan data pribadi. 

Baca juga : Kementerian BUMN Ngarep Ekonomi Lokal Terdongkrak

Regulasi yang ada, terutama UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tak mampu meng-cover perlindungan dan permasalahan transaksi belanja elektronik. Oleh karena itu, keberadaan RUU Perlindungan Data Pribadi dan atau RPP dimaksud sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU dan PP. Pemerintah jangan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen, saat melakukan transaksi. Baik saat belanja elektronik, transportasi online, dan jasa-jasa lainnya. 

Sekali lagi, digital ekonomi adalah suatu keniscayaan. Memberikan berbagai kemanfaatan baik bagi semua pihak. Namun, perlindungan konsumen harus menjadi prioritas. Negara harus hadir dalam arti yang sesungguhnya, yakni membuat kebijakan dan regulasi untuk melindungi konsumen. Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen oleh produk ekonomi digital. 

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.