Dark/Light Mode

Reaktualisasi Tahun Baru Hijriyah (11)

Hijrah dari Inabah ke Istijabah

Minggu, 15 September 2019 07:44 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Hijrah bukan hanya urusan fisik tetapi juga urusan rohani. Hijrah bukan hanya urusan fisik material tetapi juga urusan moral spiritual.

Salah satu di antara hijrah spiritual ialah hijrah dari suasana batin taubat inabah ke taubat istijabah.

Syekh Ibn ‘Athaillah membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah.

Taubat inabah ialah sikap taubat seseorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiyat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksaan dahsyat di neraka.

Dalam suasana takut seperti ini, ia menyerahkan diri, bertaubat, dan memohon pengampunan kepada Allah SWT.

Baca juga : Hijrah Ibu Kota

Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya seandainya Allah tidak memaafkannya.

Siang dan malam selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis habis segala dosa-dosanya.

Sebagaimana firman Allah: Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi’at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan segala dosa).

Sedangkan taubat istijabah merupakan bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan Tuhannya.

Taubat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah SWT sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiyat sebagaimana dalam tahap taubat inabah.

Baca juga : Tak Terlalu Jauh Maknai Hijrah (2)

Taubat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panasnya api neraka.

Yang membuat orang ini tersiksa ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah SWT.

Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah swt dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya tetapi malah melakukan dosa dan maksiyat.

Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya. Ia selalu mempertanyakan dirinya kenapa tega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya.

Ketersiksaan karena rasa malu lebih berat ia rasakan ketimbang masuk ke dalam neraka. Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadap Tuhan, maka ia memilih lebih baik disiksa di neraka.

Baca juga : Tak Terlalu Jauh Maknai Hijrah (1)

Sudah sepantasnya kita mengevaluasi perjalanan hidup diri kita. Tanda-tanda ketuaan apa yang kita sudah miliki?

Mungkin uban sudah bercampur di tengah rambut hitam kita, sudah mulai merasa ngilu tulang-tulang persendian sebagai gejala penuaan, pembatasan-pembatasan apa yang diminta dokter pribadi kita, semisal membatasi makanan dan pergerakan fisik.

Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figur keteladanan orangtua, atau mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita? ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.