Dark/Light Mode

Kasus Korupsi Izin Ekspor CPO

Pakar Hukum Pertanyakan Dasar Tuntutan Jaksa

Selasa, 27 Desember 2022 23:09 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

 Sebelumnya 
Sementara Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI) Prof Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh.

Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.

Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.

Baca juga : Puisi Denny JA Warnai Perayaan Natal Komunitas Lintas Agama

"Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ungkapnya.

Haula yang juga sempat memberi keterangan di persidangan sebagai saksi ahli, menyampaikan bahwa metode menggunakan input-output (I-O) tak tepat. Sebab, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan.

"Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022," ujarnya.

Baca juga : Guru Besar FH Unpad: Kasus Izin Ekspor CPO Administratif, Bukan Tindak Pidana Korupsi

Dia menyebut, kasus ini juga menimbulkan kerugian di kalangan pengusaha. Seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga Crude Palm Oil (CPO).

"Ada yang tidak dijelaskan dalam detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah di bawah harga keekonomisan," jelas Haula.

Hal janggal lainnya, kata Haula terkait tidak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara.

Baca juga : KPK Kantongi Bukti Rekaman Percakapan

"Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral saja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apalagi nanti, mau bagaimana sementara UU (Undang-Undang) belum pernah ngatur," terang dia.

Oleh karenanya, Haula meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum. Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode yang jelas.

"JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung. Apakah betul negara hukum berlaku seperti itu, bisa menunjuk siapa aja. Harus kembali ke konstitusi kita bahwa kita ini adalah negara hukum," pungkasnya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.