Dark/Light Mode

Kasus Korupsi Izin Ekspor CPO

Pakar Hukum Pertanyakan Dasar Tuntutan Jaksa

Selasa, 27 Desember 2022 23:09 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - Tuntutan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap para terdakwa kasus dugaan korupsi izin ekspor CPO dinilai tidak berdasar.

Terutama, penghitungan yang merugikan negara. Pakar hukum pidana Chairul Huda mempertanyakan tuntutan bervariasi, dari 7 hingga 12 tahun, ditambah uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah kepada para terdakwa.

Menurutnya hal itu aneh. Sebab uang pengganti hanya dapat dibebankan kepada terdakwa yang memperoleh kekayaan dari tindak pidana korupsi.

“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun, sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya kepada wartawan, Selasa (27/12).

Baca juga : Puisi Denny JA Warnai Perayaan Natal Komunitas Lintas Agama

Huda menambahkan, tuntutan jaksa tidak berlandaskan hukum. Oleh karena itu dia menilai, majelis hakim seharusnya menolak tuntutan tersebut dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.

Dalam kasus ini, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp 868.720.484.367,26 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.

Kemudian, Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp 4.554.711.650.438 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.

Sedangkan Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp 10.980.601.063.037 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun.

Baca juga : Guru Besar FH Unpad: Kasus Izin Ekspor CPO Administratif, Bukan Tindak Pidana Korupsi

Di persidangan, JPU meminta hakim menyatakan jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita. 

Terhadap tuntutan itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan bahwa tuntutan uang pengganti berbeda dengan ganti rugi.

“Uang pengganti itu didasarkan pada perhitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalisasi yang jelas,” ujarnya.

Sedangkan ganti rugi, menurut Abdul Fickar bisa bersifat subjektif. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi atau keuntungan yang diharapkan, dan bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.

Baca juga : KPK Kantongi Bukti Rekaman Percakapan

"Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan. Tetapi, jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya maka itu bisa dikatakan ngawur," kata Fickar.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.