Dark/Light Mode

Kasus Korupsi Izin Ekspor CPO

Pakar Hukum Nilai Persoalan Administrasi, Bukan Pidana

Jumat, 30 Desember 2022 18:14 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejumlah pakar hukum menilai, tuntutan kepada tiga terdakwa dari perusahaan dalam kasus minyak goreng tidak tepat. Sebab,  kasus ini dinilai mengarah kepada pelanggaran administrasi.

Fakta persidangan yang disampaikan saksi ahli dan para pakar menguraikan, program Bantuan Tunai Langsung (BLT) tidak menghasilkan kerugian negara, karena telah dianggarkan dan atas persetujuan DPR secara tahunan. 

Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menjelaskan, persoalan DMO (Domestic Market Obligation) merupakan persoalan administrasi. Karena itu, tidak ada dampak kepada kerugian negara. Begitu pula dengan BLT.

"Jika dikatakan BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT," kata Chairul, Jumat (30/12).

Baca juga : Pakar Hukum Pertanyakan Dasar Tuntutan Jaksa

Chairul menegaskan, tiga terdakwa hanya bertindak mewakili perusahaan. Berdasarkan aspek hukum, pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja.

Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta merta akan dipertanggungjawabkan secara pribadi.

"Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan pidana," tegasnya.

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino menjelaskan bahwa kebijakan mandatori DMO dan DPO bukan berarti pemerintah bisa menghasilkan produksi minyak goreng yang cepat.

Baca juga : Mak Ganjar Sulsel Terobos Jalan Terjal Dan Berbukit

"Di situ dibutuhkan pengolah migornya atau "maklon" yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus termasuk pembiayaannya," kata Sadino.

Seperti di bidang BBM, kata Sadino, ada lembaga pengontrol tunggal seperti Pertamina. Sementara di minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.

Sadino menjelaskan dengan adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan.

Ya kalau itu BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah. Mulai dari penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor.

Baca juga : Guru Besar FH Unpad: Kasus Izin Ekspor CPO Administratif, Bukan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan fakta persidangan tersebut, praktisi hukum Hotman Sitorus menyatakan, perkara minyak goreng semakin menemukan titik terang.

"Di mana tak ada kerugian negara, yang ada adalah keuntungan. Tidak ada kerugian negara berarti tidak ada korupsi. Sehingga, terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET adalah biang keladi terjadinya kelangkaan minyak goreng," beber Hotman.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.