Dark/Light Mode

Bea Masuk Etanol Pakistan 0 Persen

PDIP Mulai Melunak Ke Menteri Enggar

Minggu, 10 Maret 2019 09:54 WIB
Anggota Fraksi PDIP DPR Hendrawan Supratikno (Foto: Istimewa)
Anggota Fraksi PDIP DPR Hendrawan Supratikno (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - PDIP tidak lagi keras terhadap kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita yang membebaskan bea masuk alias 0 persen untuk etil alkohol (etanol) dari Pakistan. Kini, PDIP menganggap kebijakan Menteri Enggar itu sebagai hal yang wajar.

Kebijakan pembebasan bea masuk etanol Pakistan ini diambil Menteri Enggar sebagai tindak lanjut dari perubahan perjanjian dagang Indonesia-Pakistan (Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement/IP-PTA). Awalnya, bea masuknya 30 persen. Karena Indonesia berhasil surplus besar,  sebagai timbal baliknya memberi kemudahan Pakistan mengekspor etanol ke sini. Etanol tersebut nantinya dipakai untuk bahan baku parfum, sabun, kosmetik, pewarna makanan, obat-obatan, hingga minuman keras.

DPR terbelah menyikapi kebijakan ini. Ada yang menolak, ada juga yang menerima. Yang menolak antara lain Demokrat dan PDIP. Sedangkan yang menerima antara lain PAN. Namun, kini PDIP membuka diri atas kebijakan itu.

Anggota Fraksi PDIP DPR Hendrawan Supratikno menyebut, kebijakan itu tidak terlalu aneh. Kebijakan pembebasan bea masuk impor merupakan hal yang tidak terhindarkan di era perdagangan bebas seperti sekarang.

Baca juga : PDIP Kaji Kembali Aturan Menteri Enggar

“Kita enggak bisa melihat hanya berdasarkan satu penurunan bea masuk pada produk itu. Ini kan kesepakatan perdagangan. Jika kita memberi sesuatu, kita juga mendapat sesuatu. Jadi, memang akhirnya tarif masuk ini semacam harmonisasi dalam rangka perdagangan bebas,” kata anggota Komisi XI DPR ini, di Jakarta, kemarin.

Menurut Hendrawan, tidak ada hal ganjil dari langkah Kemendag memberi pembebasan bea masuk etanol dari Pakistan. Terlebih, dalam poin kerja sama tersebut, Indonesia juga menuntut bea masuk 0 persen untuk produk sawit yang diekspor ke Pakistan. Karena itu, dia meminta agar kebijakan ini tidak diributkan. “Sudahlah. Yang begini kita tidak bisa lihat satu per satu," imbuhnya.

Kata Hendrawan, kebijakan ini sama dengan yang dilakukan ke Australia. Saat ini, sekitar 6.700 produk Indonesia bebas bea masuk ke Australia. Sebagai imbalannya, beberapa produk Australia juga bebas bea masuk ke Indonesia.

"Ini kan artinya, kalau kita memberikan sesuatu pada negara lain, kita minta juga negara tersebut berlakukan hal yang sama terhadap produk unggulan kita,” katanya.

Baca juga : Duh, Desa Mulai Diserbu Narkoba

Untuk para produsen etanol dalam negeri, Hendrawan meminta tidak patah arang. Mereka harus meningkatkan efisiensi dalam berproduksi, agar tidak kalah saing dengan etanol asal Pakistan. Industri dalam negeri jangan sampai gulung tikar gara-gara pembebasan bea masuk impor tersebut.

Ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi ikut bersuara atas kebijakan pembebasan bea masuk etanol Pakistan ini. Menurutnya, kebijakan ini menjadi polemik karena diambil berdekatan dengan Pemilu 2019. 

Namun, dia tidak melihat ada masalah. Pembebasan bea masuk impor barang tertentu menjadi konsikuensi logis bagi negara dengan sistem perekonomian terbuka. Situasi pasar domestik barang di Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal.

“Proses liberalisasi pasar tersebut terjadi karena kebijakan bilateral, regional, dan unilateral. Juga konsekuensi keikutsertaan negara meratifikasi kerja sama perdagangan internasional. Saat ini, mayoritas tujuan dari kerja sama perdagangan internasional adalah penurunan non tarif dan tarif (ekspor impor),” katanya.

Baca juga : Bea Masuk Etanol Pakistan 0%: Demokrat Nolak, PAN Setuju

Menurut Gandhi, IP-PTA merupakan payung hukum kerja sama ekonomi Indonesia dengan Pakistan. Payung hukum ini mencakup 232 pos tarif untuk Indonesia dan 313 pos tarif untuk Pakistan. Di 2017, nilai total perdagangan dua negara mencapai 2,6 miliar dolar AS, dengan surplus bagi Indonesia sebesar 2,2 miliar dolar AS. Ada pun di 2016, ekspor Indonesia ke Pakistan mencapai 2,01 miliar dolar AS. Sementara impornya hanya 241 juta dolar AS. 

Komoditas ekspor terbesar Indonesia ke Pakistan adalah sawit. Pesaing Indonesia dalam ekspor ini adalah Malaysia. Saat ini, sawit Indonesia dengan Malaysia sama-sama masih mendapatkan tarif preferensi sebesar 6,42 persen. 

Dia mengakui, pembebasan bea masuk impor untuk etanol itu bisa memukul petani dalam negeri. “Industri etanol dalam negeri terkait erat dengan petani tebu. Sebab, industri etanol membutuhkan hasil samping dari pembuatan gula dari tebu. Yaitu tetes (molasse) sebagai bahan baku. Jika industri etanol dalam negeri gulung tikar, akan merugikan petani tebu. Sebab, tidak ada lagi yang membeli molasse,” katanya. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.