Dark/Light Mode

Fulus Masih Jadi Kunci

Bos KPK : Mau Jadi Bupati Harus Siapkan Rp 65 Miliar

Rabu, 21 Oktober 2020 07:45 WIB
Ketua KPK, Firli Bahuri (Foto: Patra Rizky Sahputra/Rakyat Merdeka)
Ketua KPK, Firli Bahuri (Foto: Patra Rizky Sahputra/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, uang masih menjadi kunci meraih kemenangan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Paling tidak, untuk meraih kursi bupati atau wali kota, calon harus pegang uang minimal Rp 65 miliar.

Hal ini diungkap langsung oleh Ketua KPK, Firli Bahuri saat webinar dengan seluruh calon kepala daerah. Acara bertema "Mewujudkan Pimpinan Daerah Berkualitas Melalui Pilkada Serentak yang Jujur Berintegritas" itu dihelat kemarin.

“Ini indepth interview. Ada yang ngomong Rp 5 sampai Rp 10 miliar. Ada juga yang ngomong, kalau mau ideal memenangi Pilkada Bupati atau Wali Kota, setidaknya punya uang Rp 65 miliar,” katanya.

Sayangnya, kata Firli, jika sang calon kepala daerah hanya memiliki uang Rp 18 miliar, malah sulit bersaing dengan calon berduit. “Uang masih jadi kunci memenangkan pertaruangan tiap Pilkada,” katanya.

Jika calon kalah, jelas mantan Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) ini, dampak negatifnya pun banyak. “Tak jarang kita temukan setelah Pilkada selesai, calon yang kalah, ada yang ke rumah sakit jiwa. Ada juga yang didatangi para donatur yang meminjamkan uang,” ujarnya.

Menurut Firli, politik uang yang sangat besar ini akan menjadi beban bagi para kepala daerah terpilih. Karena dia harus mengembalikan uang selama masa kampanye yang dia keluarkan tersebut. Hal ini pula yang menurutnya masih jadi pekerjaan rumah, tak hanya bagi KPK, namun bagi semua pihak.

Baca juga : Perlu Ditiru Nih! Kunci Sukses Kabupaten Kepulauan Sitaro Tekan Covid-19

“Hasil penelitian kita, 82,3 persen biaya itu dibantu pihak ketiga. Pada Pilkada 2017 misalnya, 82,6 persen dibantu pihak ketiga. Pada 2018, 70,3 persen juga begitu,” paparnya.

Berdasarkan penelitian KPK ini pula, pihak ketiga mau membantu lantaran dijanjikan sesuatu oleh calon kepala daerah jika nanti terpilih. Kebanyakan janji adalah dengan memudahkan pihak ketiga mendapatkan proyek dalam pemerintahan di daerah itu.

“Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya Pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu berakhir di masalah hukum,” tutupnya.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, ada beberapa kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah berkaitan kepentingan Pilkada.

Mulai dari kebutuhan legal seperti modal kampanye. Maupun tindakan melanggar hukum. Misalnya jual beli suara dan mahar politik dari kepala daerah kepada partai politik.

“Memang ada beberapa kasus menunjukkan adanya irisan, antara korupsi kepala daerah dan kebutuhan atau kepentingan pe- menangan pilkada,” ujar Peneliti ICW, Almas Sjafrina.

Baca juga : Anas Berat Harus Bayar 57 Miliar

Setidaknya, papar Almas, ada 11 kasus korupsi berhubungan dengan Pilkada per 2018. Misalnya kasus korupsi dilakukan mantan Wali Kota Cimahi, Atty Suharti dan suaminya yang juga Wali Kota Cimahi, Itoc Tohija.

Bahkan, dalam putusan atau dakwaan jaksa disebutkan tertulis, tindakan korupsi dilakukan keduanya untuk kepentingan persiapan modal Pilkada.

Atty mengumpulkan uang untuk modal Pilkada dari korupsi proyek infrastruktur yang dikerjakan di daerahnya. Almas mengatakan, ongkos politik sangat tinggi untuk mengikuti Pilkada sering disebut sebagai faktor utama kepala daerah melakukan korupsi.

Menurutnya, untuk biaya legal seperti dana kampanye, biaya saksi, dan lainnya masih bisa dibenahi dengan pembentukan regulasi yang tepat. Namun untuk biaya ilegal, seperti mahar politik maupun jual beli suara atau politik uang, menjadi persoalan yang tak mudah diatasi.

Mahar politik ini dimainkan partai yang meminta dana kepada calon yang ingin maju di Pilkada melalui partainya. “Banyak juga bakal calon kepala daerah yang akhirnya terpaksa tidak dicalonkan. Karena tak sanggup memberikan mahar politik,” ujarnya.

Dengan demikian, biaya politik tidak menjadi satu-satunya faktor yang mendorong kepala daerah melakukan korupsi. Ada masalah beririsan dengan partai, mulai dari tuntutan pendanaan partai sehingga marak terjadi mahar politik dan kandidasi buruk.

Baca juga : Bos KPK Minta Tambahan Anggaran Rp 825 Miliar

Selain itu, Almas menilai, hukuman untuk kepala daerah yang ringan, sehingga tidak membuat efek jera. Kajian ICW pada 2019 terhadap 104 kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK mengungkap, rata-rata vonis hukuman hanya 4 tahun 4 bulan. “Ini masih jauh dari vonis tinggi yang maksimal. Karena masih bisa divonis lebih tinggi,” tuturnya.

Padahal, Almas menuturkan, ada kasus dengan kerugian negara yang sangat tinggi, tetapi hukuman yang diberikan kepada kepala daerah justru rendah. Contohnya, kasus korupsi Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Suwarna Abdul F yang merugikan negara Rp 346 miliar dan kasus korupsi Bupati Siak, Arwin AS yang merugikan negara Rp 301 miliar.

Tapi keduanya hanya mendapatkan vonis 4 tahun penjara. Kemudian jika dilihat dari nilai suap yang tinggi, seperti yang dilakukan Gubernur Smatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho sebesar Rp 61 miliar, dia divonis hanya 3 tahun. Bupati Empat Lawang, Budi Antoni yang melakukan suap senilai Rp 15 miliar, hanya divonis 4 tahun. [EDY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.