Dark/Light Mode

Bayar Mahal Perang Medsos

Selasa, 25 Juli 2023 00:09 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Elon Musk mengubah logo Twitter dari simbol burung biru menjadi “X”. Akankah perilaku sebagian pengguna Twitter di Indonesia ikut berubah? Sepertinya belum. Atau bahkan tidak. 

Sebagian pengguna Twitter di Indonesia menjadikan platform tersebut sebagai arena peperangan politik. Saling hujat. Walau tidak sedikit yang mengunggah puja-puji. Ada juga yang menggunakan untuk berbisnis dan sejenisnya.

Para pengguna medsos lainnya, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook, juga mirip-mirip. Konsultan politik sangat tahu itu.

Sepuluh tahun terakhir, perang politik di medsos bisa berlangsung 24 jam sehari. Termasuk hari libur. Industrialisasi disinformasi, hoaks dan sejenisnya, yang menggunakan pasukan siber, bisa kian merongrong demokrasi. 

Baca juga : Madinda Siap 100 Persen Menangkan Persib

“Ini harus dihentikan! Harus ditinggalkan!”. Hampir semua pejabat dan politisi melontarkan anjuran bijak semacam itu. Mereka mendesak penghentian perang, di dunia maya maupun di dunia nyata.

Tapi, sebagaimana politisi, pernyataan di “panggung depan” dan “panggung belakang” seringkali tidak sejalan. Hampir semua kelompok politik, punya pasukan dengan semangat ekstra tinggi.

Buzzer, begitu istilah untuk pasukan siber ini, menurut Kominfo, terbagi dua. Menggunakan kampanye positif dan negatif. Puja-puji dan hujatan.

Industri ini memproduksi video, meme, situs berita palsu atau berita media yang dimanipulasi. Misalnya, dengan mengubah kata atau kalimat aslinya. Tujuannya, menyesatkan pengguna medsos. 

Baca juga : Jokowi Geleng-geleng Kepala

Bisakah dua-duanya (memuji dan menghujat) dikendalikan pihak yang sama? Bisa saja. Apalagi pasukan siber banyak yang anonim. Sulit diketahui keberadaannya. Seperti pasukan ghoib.

Universitas Oxford dalam penelitiannya yang berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang aktif menggunakan pasukan siber. Untuk berbagai kepentingan. Termasuk politik.

Penelitian terhadap 70 negara ini menyebutkan, beberapa pihak pengguna buzzer adalah politisi, partai politik, dan pihak swasta. Bayarannya, bisa sampai Rp 50 juta untuk menggiring isu atau kasus. Tidak dijelaskan term, durasi dan intensitasnya.

Penelitian yang dilakukan Samantha Bradshaw dan Philip N Howard ini tampaknya masih relevan dengan kondisi sekarang. Artinya, tidak ada perubahan berarti selama empat tahun terakhir. Bahkan, ada potensi kian panas dan “kreatif”.

Baca juga : Nyaris Mati Gara-gara Menelan Kunci Mobil

Apalagi kalau para politisi dan pemilik kepentingan masih mendua: melarang tapi juga menggunakannya, bisa kian tak terkontrol. Ambigu ini sangat berbahaya.

Para peserta Pemilu 2024 yang kian aktif menggunakan medsos sebagai sarana kampanye mesti diatur secara tegas. Kalau tidak, bisa kacau. Bisa dimanfaatkan “pihak-pihak yang mengail di air keruh”.

Karena, masih mengutip penelitian Universitas Oxford, salah satu tujuan buzzer adalah menciptakan polarisasi. Rakyat yang teradu domba bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.

Sungguh sangat menyedihkan, mahal dan berisiko.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.