Dark/Light Mode

Dirugikan Larangan Ekspor Sawit

Pengusaha Merengek-rengek

Kamis, 12 Mei 2022 06:30 WIB
Petani sedang memetik tandan buah segar (TBS) sawit. (Foto: Antara)
Petani sedang memetik tandan buah segar (TBS) sawit. (Foto: Antara)

 Sebelumnya 
Kenapa harga migor masih mahal? Pengusaha sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengungkapkan, migor masih mahal lantaran proses eksekusi larangan ekspor terhambat libur Lebaran. 

Kata dia, larangan ekspor memang berlaku sejak 28 April 2022. Namun, proses eksekusinya baru mulai bergerak pekan ini. Masalah lainnya, pemerintah juga belum selesai membuat regulasi dan surat penugasan secara resmi kepada Bulog, dan ID-FOOD selaku eksekutor untuk mendistribusikan minyak goreng.

"Supaya bisa bergerak cepat, dilengkapi dengan modal kerja yang mencukupi karena BUMN inilah yang punya jaringan pasar yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia," kata Sahat.

Baca juga : Dukung Larangan Ekspor, Dewan Sawit Indonesia Prioritaskan Kebutuhan Migor Domestik

Sahat menuturkan, selama ini proses distribusi diserahkan pada produsen minyak goreng. Soalnya, pengusaha tidak punya keahlian untuk mendistribusikan minyak goreng curah sampai ke agen dan pedagang pasar secara merata.

"Inti masalah sekarang itu bukan di bagian produsen minyak goreng, tapi bagaimana menyalurkan produk bersubsidi ini secara cepat," ujarnya. 

Bagaimana tanggapan Kementerian Perdagangan (Kemendag)? Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Veri Anggrijono mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan waktu pencabutan larangan ekspor. "Kami masih amati harga minyak goreng curah di lapangannya,” kata Veri. 

Baca juga : Anis Matta Ingatkan 5 Tantangan Besar Indonesia Di Tengah Krisis Yang Kompleks

Sejak larangan ekspor diberlakukan, kata dia, harga minyak goreng di beberapa provinsi mulai menurun. "Kita berdoa saja supaya kondisi ini cepat berlalu dan keran ekspor dibuka kembali,” ucapnya. 

Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda berpendapat, belum turunnya harga migor di pasaran usai larangan ekspor CPO diberlakukan, tak lepas dari ulah kartel alias persekongkolan. Kata dia, para kartel ini berusaha membuat harga keekonomian baru di level harga yang sekarang.

“Makanya, mereka menciptakan kondisi yang langka dan 'wajar jika mahal'. Harga yang sekarang ini harga kartel di mana perusahaan menikmati keuntungan sebesar Rp3 ribu ribu sampai Rp 5 ribu per liter," terangnya. 

Baca juga : Peneliti: Kenaikan Harga Pangan Pengaruhi Daya Beli Masyarakat

Padahal, menurut Huda, pabrik sudah produksi, tapi stok yang didistribusikan ke pasar tetap dibatasi. Harga yang dilepas ke pasar pun tetap tinggi. Apalagi, masyarakat tetap membeli migor, meskipun dijual di atas HET yang ditetapkan pemerintah. 

“Terlebih ada program BLT minyak goreng di mana potensi keuntungan (pengusaha) hingga Rp 1,2 triliun," bebernya. 

Huda mengatakan kebijakan larangan ekspor ini mendapatkan dukungan dari kebijakan lain. Misalnya, memastikan para pengusaha benar-benar menaati larangan ekspor. Artinya, tidak ada yang curi-curi celah untuk tetap mengekspor dan tidak memasok CPO-nya ke pasar dalam negeri. Kebijakan lain yang juga perlu ialah tetap memasang kebijakan harga eceran tertinggi (HET) bagi minyak goreng. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.