Dark/Light Mode

Optimasi Rotary Kiln pada Peleburan Nikel dengan Plasma Hidrogen

Senin, 22 April 2024 15:13 WIB
Proses tapping lelehan slag dari furnace (Foto: Nikel.co.id)
Proses tapping lelehan slag dari furnace (Foto: Nikel.co.id)

Abstrak 

Perubahan iklim menyebabkan GHG dengan peningkatan hingga 70% per 2050. Indonesia mesti memperthatikan hal tersebut, terlebih adanya peningkatan emisi akibat industri manufaktur dan konstruksi yang disumbang batubara sebesar 329 juta BOE (50,89%). Dihadirkan inovasi teknologi plasma hidrogen sebagai pengganti reduktor batubara pada rotary kiln untuk ekstraksi nikel. Mampu dilakukan secara termodinamika, kinetika yang cepat, dan mampu mengurangi jumlah GHG adalah keunggulannya. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kekurangan terkait penelitian hingga masalah biaya. Meskipun begitu, peluangnya masih tinggi dan banyak negara yang sudah mengupayakannya sebagai jawaban untuk menghasilkan alloy secara green technology. 

Kata kunci: emisi karbon, rotary kiln, nikel, plasma hidrogen 

Pendahuluan 

Saat ini dunia sedang dihadapkan perihal permasalah serius terkait dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh greenhouse gas emission (GHG) yang diprediksi meningkat hingga 70% - per 2050, apabila tidak ditangani lebih dini[1]. Dapat dilihat pada Gambar 1.1 terkait arah peningkatan kadar CO2 di dunia saat ini.

Gambar 1.1 Emisi tahunan yang ditimbulkan dari CO2 terhadap Representative Concentration Pathways (RCPs) from IPCC[1]

Baca juga : Modernisasi Alutsista, Kemhan Beli 2 Kapal Perang Bikinan Italia

Berdasarkan Gambar 1.1 terlihat kecenderungan dunia mengikuti garis RCP 8.5 yang mencapai peningkatan temperatur global sebesar 5.0 ()[1]. Indonesia termasuk ke dalam negara yang mengonsumsi 40% dari total energi di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Gambar 2.2 menunjukkan adanya peningkatan dari emisi gas CO2 dibandingkan negara lainnya di ASEAN[2]

Gambar 1.2 Emisi gas CO2 tahunan untuk negara-negara di ASEAN[1]

Pemerintah bukan tanpa upaya untuk menurunkan emisi yang dihasilkan oleh CO2. Salah satunya adalah mendorong pengunaan energi baru terbaharukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Kendala yang dihadapi cukup rumit dengan pertumbuhan industri manufaktur dan konstruksi per 2019 menyumbang 21,46% dari emisi nasional dari konsumsi bahan bakar sebesar 329 juta BOE – 50,89% dari batubara[3]. Pembangunan smelter menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar, melihat lebih jauh dari pembangunan smelter nikel di dalam negeri dalam beberapa tahun ke belakang yang tumbuh pesat. Nikel menjadi komoditas yang berharga di masa pertumbuhan kendaraan listrik dan pembangunan seperti saat ini. Dilansir dari Grand Strategy Minerba (2021) oleh ESDM, terdapat 27 smelter nikel yang telah beroperasi per 2021. Smelter nikel beroperasi menggunakan prinsip pirometalurgi, teknologi konvensional dalam peleburan akan menghasilkan emisi yang tentunya semakin tinggi dengan meningkatnya kapasitas produk. Cukup ironis di balik opsi investasi yang ditawarkan terdapat emisi dalam jumlah besar yang harus diperhatikan. 

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan kandungan nikel yang terdapat di Indonesia saat ini, maka proses RKEF adalah jalur yang umum dipilih karena kadar nikel yang rendah. Proses ini memiliki tantangan terhadap aspek lingkungan, terutama emisi yang dihasilkan. Terhitung energi yang dibutuhkan sebesar 30.44 – 44.38 kWh/ton FeNi dengan dampak greenhouse emission (GHG) yang dihasilkan sebesar 6 – 12 kg CO2/ton FeNi[4]. Penyumbang emisi dari RKEF salah satunya berasal dari penggunaan batubara pada rotary kiln. Sebagai upaya perubahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak berlebih dari emisi dengan menggunakan hidrogen. Lebih lanjutnya berupa teknologi plasma hidrogen yang termasuk sebagai salah satu green technology. Plasma hidrogen secara termodinamika mampu untuk menjalankan salah satu proses penting di rotary kiln, yaitu reduksi mineral oksida seperti NiO dan Fe2O3[5]

Gambar 2.1 Skema rotary kiln dengan plasma hidrogen (Suputra, 2024)

Aspek unggul lainnya adalah kinetika dari plasma hidrogen seperti yang dikutip dari Sabat (2021), plasma hidrogen (600 W microwave power) mampu mereduksi NiO  Ni dalam waktu 1200 detik[6]. Tentunya masih terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan plasma hidrogen, salah satunya terkait dengan masih belum banyak penelitian terkait dengan reduksinya dan belum adanya penggunaan pada skala industri. CAPEX untuk menghasilkan hidrogen pun masih tergolong tinggi, dibandingkan penggunaan batubara yang merupakan bahan langsung dari alam. Teknologi pembentukan hidrogen yang umum digunakan berupa methane stream reforming (MSR) juga memiliki kekurangan terkait perpindahan massa dan panas yang tidak optimal dan deposisi kokas[7].

Baca juga : Jokowi Jempolin Kesiapan Mudik Lebaran di Stasiun Pasar Senen

Akan tetapi, potensi dari penggunaan plasma hidrogen masih terbuka lebar dengan pendekatan elektrosis air sebagai penyedia H2 dan transisi banyak perusahaan ke green steel juga menjadi peluang untuk pengoptimalan lebih lanjut penggunaan plasma hidrogen pada rotary kiln. Terhitung CAPEX sebesar 750 €/kW untuk elektrolisis hidrogen yang memberikan harga produksi sebesar 3 €/kg H2 pada 2020 dengan efisiensi sistem hingga 70%[8]Menjadi hambatan tentunya terkait kesediaan investasi serta pengembangan hingga pilot scale. Terlebih nikel termasuk komoditas dengan harga yang sedang tinggi di pasar menyebabkan tuntutan terhadap kebutuhannya yang mesti dipenuhi. Akan tetapi, sudah seharusnya optimasi proses harus dilakukan, mengupayakan agar meminimalisir dampak buruk yang timbul terhadap lingkungan.

Kesimpulan

Pengoptimalan proses menjadi green techonology pada rotary kiln untuk proses peleburan nikel dapat dilakukan dengan menggunakan plasma hidrogen. Penggunaannya didukung oleh pengembangan produksi hidrogen yang diarahkan ke tahap yang lebih ramah lingkungan dan efisien terkait energinya. 

Daftar Pustaka

[1]       C. Gironès, “Scenario modelling and optimisation of renewable energy integration for the energy transition”.

[2]       M. Adrian, “Energy Transition Towards Renewable Energy in Indonesia,” Herit. Sustain. Dev. ISSN 2712-0554, vol. 5, pp. 107–118, Jun. 2023, doi: 10.37868/hsd.v5i1.108.

[3]       Kementrian ESDM, “Inventarisasi Emisi GRK energi 2020.pdf.” Kementrian ESDM, 2020.

Baca juga : Antisipasi Antrean Di Pelabuhan Merak, Menhub Siapkan Kapal Besar

[4]       W. Wei, P. B. Samuelsson, A. Tilliander, R. Gyllenram, and P. G. Jönsson, “Energy Consumption and Greenhouse Gas Emissions of Nickel Products,” Energies, vol. 13, no. 21, Art. no. 21, Jan. 2020, doi: 10.3390/en13215664.

[5]       K. C. Sabat, “Hydrogen Plasma - Thermodynamics,” J. Phys. Conf. Ser., vol. 1172, p. 012086, Mar. 2019, doi: 10.1088/1742-6596/1172/1/012086.

[6]       K. C. Sabat, “Production of Nickel by Cold Hydrogen Plasma: Role of Active Oxygen,” Plasma Chem. Plasma Process., vol. 42, no. 4, pp. 833–853, Jul. 2022, doi: 10.1007/s11090-022-10248-0.

[7]       A. Basile, S. Liguori, and A. Iulianelli, “2 - Membrane reactors for methane steam reforming (MSR),” in Membrane Reactors for Energy Applications and Basic Chemical Production, A. Basile, L. Di Paola, F. l. Hai, and V. Piemonte, Eds., in Woodhead Publishing Series in Energy. , Woodhead Publishing, 2015, pp. 31–59. doi: 10.1016/B978-1-78242-223-5.00002-9.

[8]       J. Proost, “State-of-the art CAPEX data for water electrolysers, and their impact on renewable hydrogen price settings,” Int. J. Hydrog. Energy, vol. 44, no. 9, pp. 4406–4413, Feb. 2019, doi: 10.1016/j.ijhydene.2018.07.164.

Putu Suputra Krisnu
Putu Suputra Krisnu
Peserta NECSC 2024

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.