Dark/Light Mode

Skandal Pinangki Dan Mimpi Ketemu Pak Ali Said

Jumat, 25 September 2020 08:26 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Dari ekspresi wajahnya, Pak Ali terkesan meragukan keberanian jaksa........

Berondongan pertanyaan dilontarkan Pak Ali dengan ekspresi wajah yang agak emosional. Ketika itu kelihatan sekali ada skeptisme, jengkel dan marah pada wajah mantan Jaksa Agung yang namanya kondang itu.

Penulis masih ingat Pak Ali memang sering bicara apa adanya dan melemparkan banyak pertanyaan ketika berdiskusi dengan Penulis. Pak Ali beberapa kali bercerita tentang bagaimana beliau berupaya keras membuka kedok Dr. Soebandrio ketika memimpin sidang Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966. Soebandrio sering berkelit membantah setiap tuduhan-tuduhan yang dilemparkan oleh Oditor Militer, Letkol CKH Durmawel Achmad, S.H.. Dari serangan Oditur dan bantahan-bantahan Soebandrio,Letkol CKH Ali Said, S.H. berusaha keras menguraikan secara terang keterlibatan Soebandrio dalam pemberontakan G30S/PKI. Pada akhirnya, suara palu “vonis Mati” untuk Soebandrio terdengar keras sekali diketuk oleh Ali Said pada sidang terakhir.

“Jadi, solusinya bagaimana Pak Ali untuk membersihkan nama Jaksa Agung dalam kasus Pinangki?”

“Kalau publik skeptis atas keberanian kejaksaan untuk menguak tuntas kemungkinan keterlibatan Jaksa Agung dalam action plan yang dibuat Pinangki dkk untuk membebaskan Djoiko Tjandra, sekaligus membersihkan membersihkan nama korps Kejaksaan, sebaiknya Jaksa Agung menyerahkan saja kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi! Saya kira begitu.”

Baca juga : Kontroversi `Pasukan Rajawali`

“Apa bisa diserahkan kepada KPK?” tanya Penulis

“Kenapa tidak bisa ?” jawab Pak Ali cepat. “Tapi, mesti Presiden yang memerintahkan Jaksa Agung. Dulu waktu saya Jaksa Agung, beberapa kali saya juga dipanggil oleh Presiden Soeharto, menanyakan kasus-kasus besar. Pak Harto sangat concern dan selalu pesan kepada saya untuk selalu menegakkan hukum dan keadilan sebaik-baiknya.”

Presiden Soeharto begitu percaya pada kemampuan Ali Said di bidang penegakan hukum, sehingga setelah menjabat sekitar 9 tahun sebagai Jaksa Agung, Pak Ali diangkat sebagai Menteri Kehakiman, terakhir malah Ketua Mahkamah Agung selama 8 tahun lebih. Setelah itu, ia masih dipercayakan memimpin Komisi Nasional HAM. Luar biasa!

Kembali ke skandal Djoko Tjandra dengan jaksa Pinangki dan konco-konconya yang diduga keras berupaya membebaskan Djoko, akhir tahun lalu Presiden Jokowi memanggil ST Burhanuddin yang baru diangkat sebagai Jaksa Agung. Pesan Jokowi waktu itu: “Tolong kalau ada jaksa yang nakal, ditindak.” Apa jawaban Burhanuddin? “ Dengan wajah serius, Jaksa Agung spontan menjawab “Saya akan bina [jaksa yang nakal], tapi kalau tidak bisa, saya binasakan!”

Apakah Pinangki belum bisa dikualifisrir jaksa nakal? Jaksa yang gajinya hanya sekitar Rp 15 juta/bulan, tapi bisa membeli BMW seharga Rp 1,1 miliar, operasi wajah dengan dokter spesialis kecantikan Amerika, menyewa 2 (dua) apartement mewah di Jakarta Selatan dan sebagainya dan sebagainya? Mengatur konspirasi besar keluarnya Fatwa M.A. membebaskan Djoko Tjandra?

Baca juga : Pinangki, Sosok Yang Merontokkan Citra Kejaksaan!

Pertanyaan sentralnya: Apakah Presiden Jokowi berani memerintahkan Jaksa Agung untuk menyerahkan kasus Pinangki kepada KPK? Bukankah dia akan dituding intervensi proses hukum oleh sementara pihak?

Pada era SBY, pemerintah pernah turun-tangan gara-gara Polri dan KPK memperebutkan satu kasus korupsi. Saling rebut kasus berjalan cukup lama dan panas, sampai suatu saat Presiden SBY memanggil Kapolri dan Ketua KPK. Setelah mendengar argumentasi kedua pihak, SBY memerintahkan Kapolri untuk menyerahkan kasus itu kepada KPK. Selesai! Sejak itu, KPK menggebrak habis-habisan, membongkar kasus korupsi yang melibatkan perwira tinggi bintang 2 (dua) Polri. SBY intervensi hukum? Hampir semua pihak ketika itu mengacungkan jempol kepada keberanian SBY!

Jangan lupa, Kapolri, juga Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jika Presiden menilai penegakan hukum dalam posisi bahaya karena satu kasus besar, tentu saja Presiden boleh “masuk” dan mengambil tindakan. Bukankah ketika berkampanye pada Pilpres 2019, Jokowi beberapa kali berteriak untuk menegakkan hukum sebagai Panglima sesuai amanat UUD 1945? Jika publik skeptis melihat keberanian Kejaksaan Agung untuk membongkar tuntas kasus Pinangki, Presiden harus turun tangan.

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simandjuntak, tanggal 23 September yang lalu bahwa "Publik tidak mempersoalkan koordinasi dan supervisi. Tetapi publik mengharapkan para bandit penjahat ini ditindak!”

Siapa pun bandit itu, harus diungkap, diseret ke pengadilan dan dihukum seberatnya. Law enforcement harus benar-benar ditegakkan, bukan sekadar dijadikan pemanis bibir. Dan Joko Widodo harus selalu diingatkan untuk melaksanakan janji-janjinya pada kampanye Pilpres!!

Baca juga : SOS, Pemenuhan Alokasi Pupuk Bersubsidi!

“Bukankah begitu, Pak Ali ?”

“Betul, tapi penegakan hukum zaman sekarang memang sangat memprihatinkan. Jika para petinggi hukum tidak menunjukkan keseriusan menegakkan hukum, terutama karena silai oleh uang, kacaulah Negara kita, Dik Lesmana !!” ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.