Dark/Light Mode

Jurnalistik Ofensif: Najwa Versus Luhut

Kamis, 8 Oktober 2020 07:57 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Dalam ilmu jurnalistik, siapa saja – termasuk pejabat pemerintah -- punya HAK untuk menolak diwawancarai oleh media/jurnalis mana pun karena dia punya pertimbangan sendiri. Jika sang pejabat terus menolak permintaan media, kenapa media tidak mendesak Presiden Jokowi segera berhentikan Terawan? Kalau sikap diam Terawan dianggap salah dan pengecut, kenapa Presiden diam saja? Logika mengatakan, mestinya Presiden mendesak Menkes untuk memenuhi undangan Mata Najwa, jawab setiap pertanyaannya, bicara kepada rakyat. Jika Menkes menolak, dan presiden juga diam saja atas sikap diam Menkes, bukankah Presiden juga patut disalahkan?! Dalam keterangan bela dirinya kepada pers, Nana mengatakan di luar negeri juga ada wawancara dengan kursi kosong. Dia sebut contoh “Fake intervew” yang dilakukan oleh pewawancara dari TV BBC, Andrew Neil, akhir tahun lalu. Neil gemas dan marah karena berkali-kali permintaannya mewawancarai PM Boris Johnson tidak dipenuhi. Padahal calon-calon PM yang lain seperti Nigel Farage mau datang ke studio BBC untuk diwawancarai. Kejengkelannya itu mendorong Neil tetap menggelar wawancara dengan Johnson, tapi bersifat “fake”, akal-akalan, yaitu kursi Boris Johnson dihadirkan tanpa manusianya alias kosong. Alasan Andrew Neil, seorang calon pemimpin WAJIB diwawancarai media untuk memaparkan pandangan dan cita-citanya kepada rakyat jika terpilih dalam pemilu. Boris Johnson beralasan dia sudah melayani sekitar 118 wawancara sebelumnya. Tapi, karena alasan tertentu yang kita tidak tahu, sampai menit-menit terakhir Johnson tetap menolak permintaan wawancara Neil.

Baca juga : Pagi Ini, 55 Tahun Yang Lalu

Kalau di Inggris boleh, kenapa di negara kita tidak boleh? Begitu argumentasi Najwa Shihab. Maka, dia menolak gugatan yang diajukan oleh Relawan Jokowi Bersatu. Jimly Asshidiqie, Ketua pertama Mahkamah Konstitusi, menanggapi pemolisian atas diri Nana: hukum kita rusak jika polisi melayani laporan Relawan Jokowi Bersatu.

Baca juga : Skandal Pinangki Dan Mimpi Ketemu Pak Ali Said

Saya setuju. Masalah “wawancara kursi kosong” Najwa Shihab dengan Menteri Kesehatan seyogianya dibawa ke Dewan Pers dulu. Memang begitu mekanisme penyelesaian hukum yang terkait dengan pers. Antara Polri dan Dewan Pers sudah ada Memori Kesepakatan mengenai hal ini. Jika mediasi Dewan Pers tidak berhasil mendapatkan solusi damai, proses penyelesaiannya baru dilanjutkan ke ranah hukum.

Baca juga : Kontroversi `Pasukan Rajawali`

Prof. Tjipta Lesmana, mengajar Jurnalistik dan Hukum Media di berbagai universitas selama lebih dari 15 tahun, wartawan sejak 1972, peraih Press Card Number One dari PWI Pusat.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.