Dark/Light Mode

Ketika Jokowi Marah di Raker Soal Pupuk (1)

Rabu, 20 Januari 2021 07:59 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Jokowi seperti menggugat pabrik pupuk dan Kementan: Kenapa begitu besar subsidi pupuk? Sampai kapan?

Mendengar “gugatan” Presiden, Penulis jadi ingat kembali wacana yang dilempar Jusuf Kalla 2,5 tahun yang lalu: hapus saja subsidi pupuk.

Pertanyaan kita: sejauh mana kebenaran “gugatan” Presiden tentang pupuk bersubsidi? Benarkah hanya memberatkan beban anggaran pemerintah? Jika subsidi pupuk diberikan langsung kepada petani, apa masalahnya selesai? Atau bukan sebaliknya; sektor pertanian kita bakal babak-belur dan ketahanan pangan kita terancam bahaya?

Baca juga : Terorisme Domestik Di Kongres Amerika

Para pembantu Presiden yang menyusun pidato Presiden hari itu, tampaknya, kurang cermat, terutama menyangkut pupuk bersubsidi. Logikanya amat sederhana: Jika subsidi pupuk dicabut dan diberikan langsung kepada para petani, apa persoalan selesai? Kenapa setelah dua tahun lebih berwacana, pemerintah masih tidak berani melaksanakannya?

Pemerintah (c/q Kementerian Pertanian) tiap tahun menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk bersubsidi. Penetapan HET harus dilaporkan kepada Komisi IV DPR. Bukan hanya dilaporkan, tapi juga mendapat persetujuan DPR dalam forum RDP, Rapat Dengar Pendapat antara DPR dan pemerintah.

Harga pupuk di lapangan tidak boleh melebihi HET yang telah ditetapkan tersebut. Misalnya, HET urea Rp 1800/kg, NPK Rp 2300/kg, organik Rp 500/kg. Subsidi yang diberikan pemerintah selama ini untuk menutup selisih biaya produksi dengan Harga Eceran Tertinggi. Tujuannya, agar petani dapat membeli pupuk dengan harga yang terjangkau.

Baca juga : Disfungsi Jabatan Wakil Menteri (2)

Cara pembayaran subsidi dilakukan dengan sistem reimburse: produsen pupuk menalangi dulu biaya produksi dan distribusi sampai ke gudang di kabupaten (istilahnya, ke lini 3) setelah didistribusikan. Biaya yang timbul itu (subsidi) oleh pabrik pupuk, kemudian ditagihkan kepada Pemerintah (Kementerian Keuangan) dengan melampirkan bukti-bukti yang sahih.

Proses ini, dari penetapan HET, produksi, subsidi dan distribusi diawasi/di-audit sangat ketat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena pabrik harus keluarkan dana dulu untuk menutup subsidi, maka mereka terpaksa minta kredit bank. Bunga kredit mau tidak mau dibebankan pada biaya produksi pupuk.

Soal pupuk bersubsidi memang cukup kompleks. Banyak orang yang kurang paham, lalu caci-maki ke pemerintah dan/atau pabrik subsidi.

Baca juga : Disfungsi Jabatan Wakil Menteri (1)

Menurut hasil survei terakhir BPS, jumlah petani Indonesia sekitar 22,4 juta orang. Tapi petani yang terdaftar dalam RDKK (Electronic Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) 16,7 juta petani, sehingga ada 5,6 juta petani yang tidak mendaftar.

Mereka yang tidak terdaftar dalam RDKK tentu tidak berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Harga pupuk tidak bersubsidi hampir 2 x lipat dari harga pupuk bersubsidi. Banyak faktor, kenapa sebagian petani tidak mau mendaftar dalam RDKK, antara lain karena kurang care, tidak tahu, kurang paham prosedurnya, dan lain-lain. [Bersambung]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.