Dark/Light Mode

Koalisi LSM Minta DPR Tidak Buru-buru Sahkan RUU KUHP

MAIDINA RAHMAWATI : Tidak Transparan, Rumusan Aslinya Diubah

Jumat, 10 Mei 2019 10:30 WIB
Koalisi LSM Minta DPR Tidak Buru-buru Sahkan RUU KUHP MAIDINA RAHMAWATI : Tidak Transparan, Rumusan Aslinya Diubah

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi III DPR mengklaim telah merampungkan 99 persen Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi mengatakan, RUU KUHP telah siap untuk mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Akan tetapi, dia menuturkan, RUU itu masih belum dibawa pada tingkat Paripurna DPR, karena masih menyelesaikan beberapa pembahasan. Saat ini, masih ada 18 poin dalam pasal RUU KUHP yang belum disepakati antara Pemerintah dan DPR.

Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa, belum disepakatinya 18 poin tersebut, bukan karena pembahasan yang alot antara Pemerintah dan DPR. Tapi karena sampai saat ini, pemerintah belum memberikan usulan ke DPR, mengenai pasal-pasal perubahan tersebut.

Komisi III DPR menargetkan RUU KUHP bisa dirampungkan di periode ini. Masa jabatan DPR periode 2014-2019 sendiri berakhir pada 30 September mendatang.

Namun, rencana Komisi III DPR tersebut ditentang sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka meminta DPR tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHP, karena dianggap masih banyak masalah.

Baca juga : Golkar Minta Dewan Tak Buru-buru Sahkan RUU Pertanahan

Lantas apa alasan mereka mendesak DPR untuk tidak segera mengesahkan RUU KUHP? Memang apa saja masalah yang mereka temukan? Bagaimana pula respon Komisi III DPR menyikapi permasalahan yang ada di RUU KUHP ini? Berikut penuturan lengkapnya.

Masalah apa saja yang ditemukan, sehingga aliansi mendesak agar DPR tidak buru-buru mengesahkan? 
Secara garis besar, masalahnya itu ada dua, yaitu terkait dengan proses pembahasannya, dan terkait dengan substansinya itu sendiri. 

Bagaimana dengan pembahasannya? 
Terkait proses pembahasannya, kami melihat adanya ketidakterbukaan. Kan Desember, menteri bilang itu ditunda sampai setelah Pemilu. Nah, setelah itu ternyata ada perubahan dari pemerintah, tetapi kami nggak bisa mengakses perubahannya apa saja. 

Sebelum masa penundaan pun, sebetulnya banyak terjadi perubahan pada drafnya. Tapi, ketika dipresentasikan ke DPR dalam sidang terbuka, yang dipresentasikan itu hanya delapan isu. Padahal, kalau kami lihat rumusan aslinya banyak yang diubah. Itu kami nggak dapet draf perubahannya, dari pemerintah. Dari Juli 2018 sampai sekarang nggak dapat. 

Bagaimana dengan draf terakhir yang Anda dapat? 
Ketika kami pakai draf terakhir pun, yaitu yang 9 Juli 2018, kami sandingkan dengan yang 28 Mei 2018, kami juga melihat masih banyak masalah. Teman-teman aliansi kemarin sempat menghimpun ada 18 masalah, dalam substansi draf RUU KUHP. 

Saran Anda? 
Harusnya pemerintah dan DPR bisa meminta pendapat dari pihak sipil, guna menyelesaikan masalah tersebut. Tapi saat update-nya saja kami nggak tahu, tiba-tiba pemerintah dan DPR klaim sudah hampir selesai. 

Baca juga : Bambang Brodjonegoro : Gambaran Biaya Awalnya 466 Triliun

DPR ngomongnya 99 persen selesai, sementara pemerintah ngomongnya 95 persen selesai. Padahal kami nggak pernah tahu update perubahannya bagaimana, masukan dari kami jadinya bagaimana, tahu-tahu sudah mau selesai. 

Penilaian Anda? 
Jadi kayak diburu-buru gitu lho, pokoknya masa sidang sekarang harus selesai. Karena diburu-buru itu, kesannya supaya jadi saja. 

Lalu terkait dengan substansinya, apa saja masalah yang ditemukan aliansi? 
Sedikitnya ada 18 masalah yang kami temukan dari draft RUU KUHP yang kami miliki. Contohnya, masalah besaran masa hukuman. Jadi di awal 2015 kami pernah minta pemerintah, untuk tunjukkan bagaimana cara menentukan besarnya hukuman. Jadi penjara lima tahun itu dasarnya apa, bagaimana hitung-hitungannya. 

Sudah pernah dijelaskan pemerintah? 
Sampai tiga tahun bahas itu, nggak pernah dijelaskan oleh pemerintah. Awal 2018 pemerintah sempat bilang, mereka mau pakai metode untuk penentuan besaran hukumannya. Tapi sampai sekarang, kami nggak pernah tahu, metode yang digunakan pemerintah apa saja. Mereka nggak pernah mempresentasikan ke publik, bahwa ini lho metode yang digunakan. 

Itu substansial ya... 
Itu yang paling dasar terkait dengan hukuman. Padahal di buku-buku itu semua tentang hukuman diatur. Tapi kita nggak pernah tahu, dasarnya pemerintah menghukum dua tahun kenapa, menghukum lima tahun kenapa, itu nggak tahu dasarnya 

Lalu apalagi? 
Lalu ada lagi soal asas legalitas. Pemerintah dan DPR mau mengatur soal hukum adat, untuk suku-suku yang hidup di masyarakat. Kami tanya, hukumnya itu seperti apa, hidup di masyarakat definisinya seperti apa. Mereka bilang mau pakai kompilasi dalam bentuk perda. Kami pertanyakan dong, kok perda, perda kan ada batasannya untuk mengatasi masalah tindak pidana. Mereka nggak bisa menjelaskan soal itu. 

Baca juga : PRIYO BUDI SANTOSO : Nanti Saja, Sekarang Tidak Ada Pentingnya

Lalu, masalah sosialisasi alat kontrasepsi, dimana hanya boleh dilakukan oleh petugas yang berwenang, atau volouteer yang ditugaska oleh aparat yang berwenang. Kami cek dong semua peraturan terkait dengan alat kontrasepsi, dan penanggulangan HIV/AIDS. Ternyata, promosi alat kontrasepsi itu bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, nggak boleh hanya dibatasi oleh petugas. Karena promosi itu adalah tindakan pencegahan, terhadap penyebaran HIV/AIDS. Artinya, ketentuan itu bisa menjadi ancaman buat penanggulangan HIV/AIDS. 

Aturan seperti itu bisa ada di RUU KUHP, memang kalian atau Kemenkes nggak mencegah, menggungat karena pentingnya mencegah penyebaran HIV/AIDS? 
Sudah, kemarin pun teman-teman sudah sempat menyampaikan soal ini ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Tapi ternyata, katanya Kemenkes nggak tahu soal adanya ketentuan tersebut. Berarti nggak dilibatkan dong. Itu artinya lembaga negara terkait nggak diundang dalam pembahasan RUU KUHP, dan itu kan suatu masalah. 

Bagaimana dengan pasal penghinaan Presiden? 
Memang ada masalah kebebasan berekspresi dan berpendapat, masih ada masalah pasal penghinaan terhadap Presiden yang dihidupkan kembali, kemudian ada pasal karet soal penodaan agama yang lebih parah daripada yang sekarang, dan lain sebagainya. Masih banyak sebetulnya kalau mau dibahas soal substansi RUU KUHP yang bermasalah. 

Soal penghinaan terhadap Presiden kan sudah diputuskan oleh MK. Aliansi nggak meminta agar itu dicabut? 
Betul, kami pun selalu bilang ke mereka, kalau ini tuh sudah nggak relevan lagi karena MK sudah memutuskan. Alasan putusan MK kalau kita lihat, kan memang karena pasal soal penghinaan terhadap Presiden sudah nggak relevan. Tapi, pemerintah alasannya karena beda dengan putusan MK. Menurut mereka, kita butuh melindungi Presiden, karena presiden negara lain saja kita lindungi, ada ketentuan pidananya. Masak presi¬den sendiri nggak. 

Bagaimana jika rumusannya berbeda? 
Memang kemudian dia ganti rumusannya, jadi agak berbeda dengan yang dibatalkan oleh MK. Tapi kami terus protes, karena rohnya itu kan sudah dihapuskan oleh putusan MK. Tapi ya begitu, mereka tetap kekeuh sehingga pasal tersebut tetap ada. 

Kalau dari pengamatan Anda, memang ada perbedaan yang substansial dari ketentuan itu dengan yang sudah dianulir oleh MK? 
Sebenarnya ada, dia ngaturnya berbeda dengan memasukkan delik materi, syarat-syarat tertentu, cuma menurut kami sama saja. Apalagi dalam penerapannya kan kita nggak pernah tahu, apakah batasan itu benar dipatuhi oleh aparat penegak hukum. [NDA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.